Panduan Mempersiapkan Pernikahan Pt 2

 

“Habis ndhodhok ini selanjutnya prosesi apa lagi, Ma?” tanya gue.

            “Selanjutnya ada tukar cincin, itu masih bulan depan, kira-kira pertengahan Februari.”

            “Ohhhh begitu, kayak yang rame-rame bawa keluarga besar itu ya?”

            “Betul.”

            Minggu, 16 Februari. Gue bangun dengan perasaan yang samar-samar—antara senang dan bingung. Senang karena gue bangun ada hawa-hawa bahagia di sekitar gue yang memicu gue untuk mengucap syukur—ada banyak tetangga yang rewang di rumah gue. Bingungnya? Tentu saja karena masih terbawa narasi yang sama pada bab sebelumnya: semua ini untuk apa? Pernikahan itu sejatinya apa? Kenapa semua orang tersenyum di hari-hari dalam rangkaian acara ini, kecuali gue?

            Jauh di lubuk hati gue ingin sekali membantu menyiapkan prosesi tukar cincin ini, entah itu membantu menyusun bingkisan, atau merapikan isi bingkisan, atau apa pun lah, namun nyatanya tak ada satu pun jobdesk yang diserahkan pada gue. Ya sudah, memang gue nggak perlu repot-repot mikirin pernikahan abang gue, wkwk.

            “Hmmm, apa gue bantu bungkus-bungkusin yak? Coba ah, lah… Udah ada yang mbungkusin, ya udah deh gue mandi aja.”

            Mau mandi juga ternyata di bagian belakang rumah sudah penuh oleh tetangga yang bantu menyiapkan masakan. Gue terpaksa nggak bisa mandi di rumah—harus mengungsi ke rumah Paman gue di gang sebelah. Mau tidak mau gue lakukan. Barulah ketika gue sudah fresh setelah mandi, jobdesk itu datang juga.

            “Udah mandi?” tanya Bunda pada gue yang masih mengusap-usap rambut dengan menggunakan handuk.

            “Baru aja, kenapa, Ma?”

            “Tolong kamu bantuin Mbak Aisyah ambil jenang dan lapis di Wiradesa. Tuh, Mbak Aisyah udah siap, kamu boncengan sama dia.”

            Tugas pun dilaksanakan. Gue meluncur ke Wiradesa menggunakan sepeda motor vario berwarna merah putih yang lebih nasionalis dari gue. Jaraknya dari rumah cukup jauh untuk ukuran seorang yang mager ke mana-mana kayak gue. Dan lagi cuaca di luar sangat panas, matahari begitu menyengat kulit, pedes rasanya.

            “Nanti habis lampu merah yang itu ambil kanan biar bisa nyebrang, Le,” ucap Mbak Aisyah pada gue.

            “Oke, Mbak.”

            Setelah menyebrang, kami memasuki gang dan terus berjalan. Kami pun sampai di rumah pemilik usaha dodol rumahan dan lapis rumahan, rumahnya bersebelahan, tidak cukup jauh. Pesanan langsung diterima, dibayar, dan kami kembali ke rumah. Dalam proses mengangkut dodol dan lapis yang jumlahnya tidak sedikit ini kami cukup kewalahan, bagaimana tidak? Kami mengendarai sepeda motor, tentu saja ruangnya cukup terbatas untuk menaruh bingkisan sebesar ini. Tentu saja ini makin menegaskan kepesimisan gue terhadap pernikahan.

            “Tuh kan, nikah itu ribet, harus bawa bawa ginian susah!” batin gue dalam hati, kesal.

            “Le, kamu sedang apa? Kok komat-kamit sendiri kayak Mbah Dukun?”

            “Ah, anu… anu. Latihan drama buat tugas kuliah, Mbak.”

            Kami berhasil pulang. Badan gue pegal semua usai menjaga keseimbangan sepeda motor yang tidak hanya dibebani oleh penumpangnya, namun juga dibebani oleh tanggung jawab membawa bingkisan ini dari Wiradesa ke Kertijayan .

            “Aku mau istirahat, Ma,” kata gue sambil memasang wajah sok butuh dikasihani.

            “Ya udah istirahat, nanti habis asar pokoknya udah siap aja, udah mandi dan rapi.”

            Waktu yang dinanti pun tiba. Seluruh kerabat datang berbondong-bondong mendatangi rumah gue. Semuanya bersetelan rapi dan baunya wangi. Gue terkagum-kagum karena begitu banyak orang yang hadir untuk berpartisipasi dalam lamaran/tukar cincin ini. Selain kerabat dan keluarga jauh, hadir pula Ustad Rizqon selaku tokoh masyarakat untuk menjadi mewakili keluarga mempelai putra alias abang gue. Dan ada lagi satu yang bikin gue geleng-geleng kepala; sebuah mobil Avanza berukuran cukup besar masuk ke lingkungan perkampungan sekitar rumah gue yang notabene sempit. Mobil siapa dan ada kepentingan apa memasuki wilayah ini?

            “Wah, mobil siapa tuh, gede banget?” tanya gue.

            “Mobil temanku,” jawab Bunda.

            “Assalamualaikum.” Seorang lelaki paruh baya keluar dari Avanza mewah tersebut, menyapa dan menyalami anggota keluarga gue—kecuali gue, miris memang.

            “Ya sudah, kalau sudah lengkap ayo kita berangkat. Biar gak terlambat, ntar kalo terlambat yang malu kita juga sebagai orang Kertijayan,” ucap Bunda.

            Sekitar pukul empat sore seluruh rombongan berangkat dari Desa Kertijayan menuju Kelurahan Buaran. Semua berbondong-bondong dengan kendaraan masing-masing dan bingkisan yang ditenteng. Keluarga inti—abang gue, Bunda, Ayah, naik mobil Avanza tadi. Ya, jangan ditanya gue ada di mana.

            Keluarga mempelai putri tampak sudah siap menerima tamu, mereka menyambut kami dengan senyum hangat, semua orang rahat. Suasana di sini terasa begitu bahagia kecuali gue yang masih denial dengan kebahagiaan dalam suasana di sini. Gue masih kekeh dengan prinsip gue bahwa pernikahan itu ribet, susah, dan lain sebagainya. Akankah prinsip ini berubah? Kita lihat saja nanti.

            Prosesi demi prosesi lamaran dilaksanakan—sambutan perwakilan mempelai, doa, perkenalan mempelai, tukar cincin, foto bersama, nggak ada yang bikin gue tertarik kecuali opor ayam yang amat menggoda. Kuahnya begitu kental dan potongan ayamnya sangat lembut. Satu piring tidak cukup!

            “Woy, Mas, mabar e-Football ayo,” ajak Himam, putra dari Pak Bambang & Bu Mis keponakan Bunda, nah loh, posisi dia di mata gue apa dong? Keponakan atau apa? Begitu membingungkan.

            “Ayo, Mas udah login ini.” gue meninggalkan opor ayam yang sudah tak menggoda karena hanya tersisa piring dan sendoknya.

            “Selanjutnya sesi foto bersama, kami persilakan kepada keluarga kedua mempelai untuk berfoto bersama.”

            Yap, bisa ditebak apa yang terjadi. Gara-gara mabar gue jadi tidak ikut prosesi foto bersama. Gue seolah bukan bagian dari keluarga ini, kocak!

            “Aku mau foto juga dong…”

            “Lah, telat, tadi dipanggil malah ilang,” ucap Bunda.

            Akhirnya gue difoto sendirian bersama mempelai. Miris.

            Jauh di lubuk hati gue ketika melihat kebahagiaan dua calon pasutri ini, ada semacam percikan api yang mulai membakar idealisme gue. Perlahan pesimisme dan pandangan miring gue tentang konsep pernikahan mulai memudar. Tapi, apa secepat itu? Tentu tidak semudah itu, Ferguso! Gue masih kekeh!!! Sampai prosesi usai gue masih terus melihat semua orang bahagia dan menebar tawa, hanya gue yang diam tak berekspresi. Itu sudah jadi bukti bahwa idealism gue belum runtuh!

            ***

            Beberapa waktu berlalu. Kini memasuki bulan puasa dan lebaran. Ada satu culture shock yang gue alami di lebaran kali ini. Tentu saja ada hubungannya dengan abang gue. Memangnya apa lagi? Suatu ketika, di pagi hari ketika masih suasana lebaran gue menanyakan keberadaan Abang.

            “Ma, Abang ke mana?” tanya gue dengan begitu polosnya.

            “Ya elah, pake nanya. Ya sama Mbak Nana lah… Kamu masak gitu aja nggak paham,” jawab Bunda yang masih menyiapkan air untuk dimasak sambil diselingi nada bercanda.

            “Oh, iya, ya… Gimana sih aku… Hehehe.”

            Dalam keheningan sekian detik itu pertanyaan lain muncul dari gue.

            ”Ma? Apa nanti aku juga bakalan kayak Abang?”

            “Ya iyalahh, pastinya.”

            “Caranya gimana?”

            “Ya nanti kamu tahu.”

            Usai tanya tersebut, rombongan keluarga dari Kajen datang ke rumah untuk bersilaturahmi ke rumah. Seperti biasa, mereka selalu datang full satu batalyon: Mak Piah, Tante Indri & Om Ami beserta Affan dan dua adiknya, Tante Susi & Suami, Om Ghowin & istri, Mas Eki, dan juga si kecil menggemaskan putra dari Tante Susi yang kalo ngomong harus pakai bahasa Inggris, Re.

            “Eeeeehhhh, akhirnya datang jugaaa!” Bunda menyambut mereka. Semua bersalamandan dilanjut makan-makan. Yang membedakan kini adalah suasana canggung yang memenuhi kepala gue—gue udah nggak bisa main sama Dek Affan kayak dulu ketika masih kecil, simpel, efek pendewasaan aja.

            Gue coba buka basa-basi dengan Affan yang kini tinggi badannya sudah melewati gue, padahal gue ingat dulu ketika kami masih bermain bersama, dia hanya sekecil biji duren.

            “Affan sekarang kelas berapa?” tanya gue, canggung.

            “Kelas 1 SMP.”

            “Oh…”

            Hening.

            Sampai tibalah ketika Om Ghowin bertanya di mana Abang gue—dijawab dengan jawaban yang sama oleh Bunda ketika gue tadi bertanya.

            “Ohhhhh, sama calonnya.”

            Tak berselang lama, yang bersangkutan kembali ke rumah bersama dengan calonnya. Kiaaaa, suasana jadi makin UwU. Dan gue makin tenggelam dalam kesendirian. Sungguh disayangkan.

            “Ini gue mau ngobrol sama siapa? Abang gue lengket banget ama Mbak, adek-adek pada asik sendiri di luar. Ah, emang udah waktunya gue main e-Football lagi deh.”

            Begitulah perubahan. Ada dan tak bisa dihindari. Tidak terkecuali mengenai pernikahan. Kenapa pernikahan ada? Bagaimana menyatukan pemikiran dua orang agar satu visi dan menuju ke sana?  Setidaknya itu yang gue pelajari dari Abang gue yang telah menyatukan visi dengan Mbak Nana dan dalam hitungan bulan akan melaksanakan pernikahan. Ini akan jadi pertanyaan seumur hidup buat gue. Soal prinsip? Kita kesampingkan dulu, misi selanjutnya adalah mencari jawaban dari pertanyaan di awal paragraf tadi. Sekian. Maaf tulisan gue tidak koheren.

Komentar

Postingan Populer