Merayakan Sepi/Melepas Sembilan Bidadari

         Semburat senja menghiasi sore yang syahdu di pinggiran jalan tol Batang-Pekalongan. Sebungkus Dji Sam Soe premium keluar dari saku Haekal. Ia menarik sebatang rokok keluar dari dalamnya dan kemudian membakarnya, mengisapnya sambil bertukar kisah selama satu semester terakhir. Ya, Haekal sedang libur dari ponpes, nggak lama, cuma satu minggu. Itu pun dia melarikan diri dari ponpes, harusnya pengurus OSIS tidak diperbolehkan untuk libur, harus stay di Ma’had. Tapi, Haekal nekat.

Gue meraih cangkir kopi cappuccino yang baru saja gue pesan dari penjaja kopi di pinggir jalan tol ini. Meminumnya, sambil juga bertukar kisah dengan Haekal.

“Play musik, dong, biar ga sepi,” ujar Haekal. Ia pun meraih smartphone yang baru ia beli dua hari sebelumnya bersama gue di sebuah konter di Kota. Haekal memainkan Album “Lagipula Hidup Akan Berakhir” karya Hindia. FYI, selera kami dalam menikmati musik nggak jauh berbeda, dan kami juga sering eksplor berbagai genre, jadi Haekal lumayan mengerti soal musik.

“Tahu aja lo apa yang asik di telinga gue,” kata gue.

“Kuping lo kan rasis. Buruan gih cerita lagi, itu tuh yang katanya lo ditolak cewek, ceritain ke gue dong.”

“Bangke… Gue harus cerita ini lagi ke orang, ah capek.”

“Make it simple.”

Gue pun menceritakannya. Haekal tertawa terbahak-bahak, kami sekarang jadi kelihatan seperti dua orang pengangguran kurang kerjaan yang sok indie tapi malah jadi odgj.

“Gue ada ide, kita buang sial kita ini aja di suatu tempat.”

“Maksud lo gimana?”

“Ya, kita refreshing… Gimana kalo camping? Ajak Atho dan Hillan temen SMA gue.”

“Gas aja sih.”

Entah terbesit apa di kepala Haekal sehingga merencanakan ide gila tersebut. Namun, meski gila, menurut gue layak untuk dicoba. Tapi, ada tapinya… Haekal, Hillan, dan Atho kan sudah langganan camping dan hiking, lah gue?

“Eh, tapi ini nggak kayak ndaki gunung kan? Nggak tinggi banget kan?” gue mulai khawatir.

“Enggak lah, pea, jangan cemen-cemen banget deh.”

Hari yang direncanakan pun tiba. 20 Desember 2023. Haekal dan Hillan persiapan dengan menyewa tenda serta alat-alatnya, sementara gue sedang menghadapi UAS Lisan Bahasa Arab (seperti yang gue ceritakan di bab sebelumnya). Sedangkan Atho, dia menunggu gue selesai UAS biar sekalian nebeng.

“Udah kelar belom UAS lo?” tanya Haekal di grup WhatsApp yang kami buat khusus untuk agenda gila ini.

“Belom coy, ini dosennya malah minta diganti hari, ahh sial.” gue menjawab dengan mengirim sebuah foto yang menunjukkan gue sedang menunggu giliran.

“HAHAHAHA, KASIHAN,” celetuk Hillan.

Mengetahui UAS harus ditunda, gue tanpa pikir panjang langsung pulang ke rumah sambil nyangking Atho dengan mampir dulu  menjemputnya. Lalu, kami berangkat menuju venue camping pada pukul empat sore waktu Indonesia ber-refreshing. Kiwww!

Jalan yang kami lalui lumayan memacu adrenalin dan memancing emosi: berlubang, berbatu, dan amat rusak. Gue jadi pengen terbang karenanya.

“Buset, jalannya rusak parah, Tho!” kata gue.

“Iya emang, kayak kelakuan lo.”

Pukul enam sore, tepat ketika azan magrib berkumandang, kami sampai di venue camping yang kami tuju. Ya, Telaga Sidringo namanya. Sebuah objek wisata yang sebenarnya sudah buka sejak lama, tapi gue baru tahu sekarang ini. Maklum, gue jarang piknik. Sudah begitu kudet pula. Jiakh!

Kami salat magrib sejenak lalu menuju loket untuk melakukan transaksi sabu-sabu, bukan cok, ngaco. Tentu saja untuk membayar tiket masuk. Sesampainya di dalam loket, kami bertemu dua orang pria dewasa, sebut saja dua bapak-bapak loket. Salah satu dari keduanya menyodorkan sebuah kertas, kertas tersebut tak lain berisi list barang yang kami bawa dari rumah. Ini merupakan prosedur pengamanan dari SOP mereka. Salut.

Bapak yang tadi menyodorkan kertas kemudian menjelaskan peraturan untuk berkemah di tempat ini. Kami mendengarkannya dengan saksama, dengan tempo sesingkat-singkatnya, seperti kisah cinta gue.

Semua prosesi administrasi telah usai. Kami langsung menuju ke atas, kemudian mendirikan tenda tepat di bawah pohon pinus yang bentuk daunnya menyerupai pohon akasia, suasananya jadi teduh di bawah pohon ini. Dan segala puji untuk Allah, malam ini langit benar-benar tampak anggun dengan gugusan bintang yang menawan. Ditambah dengan cuaca yang mendukung, suasananya kian syahdu.

“Subhanallah, langitnya cantik buuuaangggettttt!!!!” teriak Hillan.

“AAAAAAAAAAAAAA.” Haekal ikut berteriak, tapi entah maksud dan tujuannya.

“Wih, iya cuy, cantik banget.” Gue ikutan memandang langit. Sampai lupa kalau gue sedang membantu Atho memasang patok tenda dengan menyoroti patok menggunakan senter smartphone gue. Sekarang justru Atho yang gue soroti.

“Woy, senternya, Blok.”

“HEHE.”

“Oke, tenda udah kepasang. Sekarang saatnya bikin mie sama kopi. Abis itu cerita nabi-nabi, lalu dilanjutin main kartu remi.” Haekal sekarang seperti seorang anggota seksi acara dalam sebuah kepanitiaan.

“Asekkk makan.” Gue antusias.

Di sinilah kami berempat. Menatap langit yang tenang dan berjanji takkan menangisi malam. Kami membuang semua kesialan sepanjang tahun, apa pun bentuknya, khusunya gue yang tahun ini mengalami berbagai rintangan. Mulai dari adaptasi dunia kuliah dan duniua kerja lalu menyesuaikan keduanya, kondisi mental yang naik turun karena beberapa sebab, sampai ke urusan percintaan yang sial. Yang gue tahu malam itu gue merasakan ketenangan. Baik secara harfiah maupun kiasan.



Tak ada suara bising kendaraan. Tak ada suara orang-orang. Hanya jangkrik dan suara angin sepoi-sepoi. Tak ada layar komputer, tak ada resi pengiriman, tak ada tugas kuliah yang nakal, dan tak ada orang menyebalkan. Semua di sini senang. Lalu, statement itu pun keluar…

“Denger-denger lo ditolak ya, Zim?” tanya Hillan.

“Ya gitu, deh.” Gue menjawabnya singkat karena sudah terlalu malas untuk menceritakannya.

“Saran gue sih, lo sekarang kan lagi fase berkembang gitu ya, mending lo kembangin diri lo aja. Lo nggak usah main cewek-cewekan deh.” Raut muka Hillan tampak serius, sekarang di KTP-nya tertera nama Mario Teguh. Hillan berganti kepribadian. Astaga.

“Oke, gue akan kembangin diri. Gue cari kembang dulu ya.”

“Nggak gitu konsepnya,” jawab Haekal sambil melempar kopi yang harusnya ia minum.

“Hehe. Iya, iya, gue paham kok. Sekarang kalian minggir, gue capek, gue mau tidur.”

“Gak ikut main remi lo?” tanya Haekal.

“Gak. Sana gih kalian main. Gue mau tidur aja.”

“Ya udah. Ayo, Tho, mulailah mengocok.”

“Apanya yang dikocok?”

“Huft.”

Dengan malam yang sepi ini, gue merayakannya. Dengan perayaan sepi ini, gue melepas Sembilan Bidadari yang sempat gue temui di kampus. Terima kasih telah hadir di salah satu part kehidupan gue untuk memberi warna, meski nggak semua warna yang kalian berikan adalah warna yang ceria. Bahkan ada yang member warna hitam pekat. Bikin hati tersayat.

Semoga dalam perjalanan menuju Kahyangan, kalian tidak menemui rintangan. Dan semoga kalian menjadi bidadari untuk sosok yang tepat. Kalian bukan milik gue. Mungkin iya, gue tidak pantas mendapatkan bidadari seperti kalian, atau justru sebaliknya, bidadari terbaik belum bisa muncul di part ini. Kelak gue akan menemukannya, semoga. Kalau belum ketemu, ya sudah biarkan saja, seperti kata Hillan tadi, gue harus mengembangkan diri lebih jauh. Sejauh mungkin, se-valuable mungkin demi menyambut tahun yang baru. Gue harus bisa. Perlahan namun pasti. Sedikit demi sedikit. Semoga. 

Mari kita sambut 2024 dengan hati yang meriah. Jangan ada lagi hati yang patah dan perjuangan yang kalah. Jangan lagi ada pengabdian yang terbakar sirna, semua harus bahagia. Maka, berbiasalah, berbahagialah!




Komentar

Postingan Populer