Malioboro dan Fotografer Patah Hati
Jogja selalu membuat setiap orang yang pernah hadir secara fisik di
sana untuk kembali karena rindu yang menggebu. Mungkin benar adanya penggalan
sajak dari Joko Pinurbo yang berbunyi, "Jogja terbuat dari rindu, pulang,
dan angkringan", sebab ia benar-benar memiliki magnet yang selalu membawa
kembali orang-orang yang pernah ke sana, tidak terkecuali gue. Iya... Gue.
Tahun 2024 ini adalah keempat kalinya gue menginjakkan kaki di Jogja, pertama
kali di tahun 2019 bersama IPNU IPPNU Kertijayan dalam rangka wisata religi,
lalu 2021 masih bersama IPNU IPPNU Kertijayan, dan terakhir 2022 ketika gue
diajak Nabil teman MA gue ikut Bokapnya dagang di Pasar Beringharjo, munkin
jika berkenan suatu hari gue akan ceritakan yang terakhir itu.
Kembalinya gue ke Jogja di awal tahun 2024 juga menandai dimulainya
resolusi tahun baru gue yang sudah gue rancang sejak akhir tahun 2023 kemarin,
yakni berhenti sejenak dari hiruk pikuk percintaan dan menjalani hidup
sebagaimana mestinya gue harus hidup; makan dan minum, tidur, kuliah, kerja,
dan bertemu kawan. Sayangnya gue kembali dengan memantati resolusi gue sendiri.
Bohong rasanya jika gue katakan bahwa gue bisa berhenti menjadi seorang
phyloginik akut. Nyatanya gue tetap jadi sosok yang mata keranjang. Bahkan pada
sahabat gue sendiri....
Iya. Sahabat sendiri. Terdengar gila sebab beberapa orang yang gue
kenal meyakini bahwa jatuh cinta pada sahabat sendiri merupakan sebuah
pantangan—gue juga tahu itu dan gue telah merasakan sendiri akibatnya tahun
2022 silam. Itu juga jika berkenan akan gue ceritakan lain waktu. Untuk saat
ini gue ingin berfokus pada kisah gue di Jogja… Dan karena latar cerita ini
cukup menarik, gue menambahkan sedikit filler di dalamnya. Biar lebih enak.
Namanya Mawar. Kami partner di IPNU IPPNU Desa selama beberapa
tahun terakhir. Simpel saja, gue dan dia kalau mengobrol selalu nyambung, dan
dia selalu yang paling mengerti tentang apa yang gue pikirkan—untuk dieksekusi
jadi ide di organisasi ini, begitupun sebaliknya. Sayang, kami harus terpisah
peran ketika Rapat Anggota menetapkan ia sebagai ketua Ranting, sedang gue
bahkan tak muncul di nama pencalonan saat sidang. Saat sidang usai ia sempat
bertanya kepada gue sambil sesekali menyeka air mata sebab keputusan di sidang
tersebut cukup memberatkan dirinya, “Kok lo nggak kepilih? Harusnya lo juga
kepilih soalnya peran lo di organisasi sama besarnya seperti gue.”
“Gue juga nggak tahu. Biarin lah. Forum sudah menentukan. Hormati
keputusannya,” jawab gue sok cool, padahal jauh di lubuk hati terdalam
gue, gue merasa ada politisasi di organisasi yang konon katanya anti politik
ini. Ah, entah, gue terlalu polos mungkin.
“Kalau kamu yang jadi ketua, aku juga mau aja jadi ketua, nggak
bakal berat. Kayaknya aku gak bakal terima keputusan sidang ini.” Mawar secara
spontan lembut dan memelas…
“Jadi?”
“Lihat saja nanti.”
Waktu berlalu. Seminggu lebih tepatnya. Kami, IPNU IPPNU Kertijayan
kembali melakukan perjalanan dalam rangka wisata religi, tebak ke mana? Ya,
Jogja kembali. Tentu saja untuk berziarah ke makam pendiri IPNU, Mbah Tolhah
Mansoer, dan IPPNU, Ny Umroh Mahfuzoh. Singkat cerita ziarah ke makam
orang-orang besar—waliyullah telah usai, tiba saatnya bagi kami untuk
berwisata. Tentu saja ini waktu yang sangat ditunggu oleh segenap rombongan.
Termasuk gue yang ditugaskan sebagai fotografer dalam wisata religi kali ini—gue
berbekal kamera Nikon series berapa entah—punya abang gue.
Waktu itu, pagi tiba, bus rombongan berhenti di sebuah warung dekat
pantai yang gue juga nggak tahu apa namanya (mohon maklum). Kami semua turun, melaksanakan
salat subuh bergantian juga menunggu hujan reda agar nanti saat matahari terbit
bisa beranjak ke pantai untuk menikmati keindahannya. Usai salat subuh gue
duduk bersama dengan Mawar, mencoba me-review obrolan kami minggu lalu.
“Jadi gimana?” tanya gue memulai percakapan, sembari membuka tas
kamera dan membersihkan lensanya.
“Ibu nggak ngebolehin gue ikut IPPNU lagi, lo tahu sendiri kan
belakangan ini ada apaan di desa kita?”
“Dua ketua sebelumnya meninggal karena sakit keras. Gue tahu itu.”
Sekarang giliran gue yang mulai berkaca-kaca, namun gue mencoba menutupinya,
gengsi men.
“Laper nggak?”
sambung gue.
“Laper. Emang
kenapa? Lo mau masakin gue?” jawabnya nyleneh.
“Ya enggak, gue
mau pesen mie sama Mbaknya, sekalian aja.”
“Boleh.”
Usai sarapan kami
semua beranjak ke area pantai meski gerimis masih ngriwis, ya mau bagaimana
lagi? Sudah satu jam menunggu, tak kunjung reda, mending trabas saja…
“Fotografer, woy,
fotoin,” seru seseorang salah satu anggota rombongan, gue langsung menuruti
kemaunnya. Jepret. Sebuah momen tertangkap oleh lensa kit kamera Nikon yang gue
bawa.
“Fotoin aku juga
dong.” yang lain mulai antre minta difoto.
“Aduh, Mbak, maaf,
batrenya lemah. Dua duanya lagi. Harus aku charge dulu, maaf banget ya…” tanpa
gue sadari ternyata dua batu baterai yang gue bawa sama-sama mengalami lowbat,
harus di-charge segera. Tanpa pikir panjang gue berlari menuju ke warung yang
kami jadikan transit tadi.
“Ya ampun,
bisa-bisanya gue lalai begini.”
Momen di pantai
tersebut tidak sempat terabadikan dengan sempurna, hanya satu dua tiga foto
yang gue jepret di sana. Gue kecewa dan marah pada diri sendiri, tapi
memaki-maki diri sendiri di situasi begini tak ada gunanya, lebih baik gue
fokus pada solusi, kira-kira begitu kata hati gue.
Momen menikmati pantai pun usai. Sesuai jadwal di susunan acara,
rombongan kembali melanjutkan perjalanan, kali ini transit di rumah makan untuk
makan siang sebelum nanti beranjak ke Malioboro yang jaraknya sekitar dua jam
perjalanan ditambah ziarah ke makam Ny Umroh yang telah diubah jadwalnya.
Ketika sedang
makan siang, gue iseng me-review hasil jepretan gue mulai dari pemberangkatan
di sore hari, ziarah di malam hari, hingga momen pagi tadi. Lalu, saat sampai di
urutan foto pagi, gue menunjukkan hasil jepretan gue pada anggota rombongan
yang tadi minta difoto, namun…
“Kang, fotomu
bagus ini… Lihat deh,” kata gue ramah dan hangat, kontradiktif dengan kondisi
cuaca yang dingin.
“Ah, masih bagusan
ini!” jawabnya sambil menunjukkan sebuah foto hasil jepretan kamera yang lebih
bagus dari punya gue.
“Loh, itu
kameranya siapa?” alis gue naik.
“Tadi ada tukang
foto lewat. Anak-anak pada nyewa. Nih, kita juga foto bareng-bareng, lo
dicarrin gak ada sih.”
Deggg!!! Patah
hati pertama…
Statement barusan
benar-benar menampar gue, keras tak berbalas. Sambil makan siang gue terus
mengutuki diri sendiri—juga berharap ada yang mengerti dan memahami, namun
sayangnya tidak, bahkan Mawar pun tidak menyadarinya. Ia sedang asyik bersama
rekanita-rekanita lainnya.
Hampir semua
anggota rombongan yang kontak WhatsAppnya gue simpan mengupload foto bersama di
pantai dengan hasil editan yang manis tersebut. Story-story tersebut seolah
mencemooh gue dengan berkata “Mampus lo, dasar fotografer nggak guna. Bawa
kamera tapi batre lowbat semua.”
Pukul empat sore.
Ziarah di makam Ny Umroh. Gue mencoba menenangkan diri, kali ini kembali
mengobrol dengan Mawar, ya, lagi-lagi kembali mengobrol dengan Mawar sebab ia
satu-satunya partner yang gue miliki di periode ini, maka gue amat sedih
mendengar warta bahwa ia tak akan lagi melanjutkan di organisasi ini—mengundurkan
diri dari tahta ketua yang bahkan belum sempat ia duduki.
“Hei..” gue
mencoba membuka percakapan.
“Kenapa? Lo mau
pentol?” Mawar menunjuk pada penjaja pentol di seberang masjid dekat area
makam.
“Boleh. Ayok.”
Sejenak kami
mengobrol. Spontan, tanpa tema, tanpa arah, hanya obrolan biasa dua orang
sahabat seperti pada umumnya, hanya saja detik ini, gue merasakan sesuatu yang
agak lain. Ada rasa takut kehilangan yang menghinggapi raga dan rasa, kiranya
Mawar tak mengetahuinya.
“Tadi ada si Amat
ya? Dia lagi pulang dari mondok kah?”
“Amat temen
sekelasku dulu di MI? Iya. Dia pulang, tiba-tiba banget ikut ziarah IPNU.”
Firasat gue mulai
tidak enak.
Malam hari telah
tiba. Bus kami juga telah sampai di Malioboro. Agak terlambat dari perkiraan
yang seharusnya sebelum magrib kami sampai, namun saat ini waktu magrib hampir
habis, artinya waktu bersenang-senang di Malioboro tak akan lama.
Rombongan
berpisah. Masing-masing menuju tempat yang diinginkan sendiri. Kadang juga ada
yang berkelompok sebab takut jalan kaki sendiri. Gue? Tentu saja sendiri.
Dengan masih menenteng kamera gue menyusuri jalanan Jogja yang tak pernah
luntur keindahannya. Wisatawan berlalu-lalang di kanan dan kiri, lautan massa
mengucilkan gue sendiri, sampai gue sadar jika gue terus sendiri akan hilang
dilahap kerumunan ini. Gue berlari mencari rombongan.
Di dekat Bank BNI,
gue bertemu Mas Adam dan Sidqi, tentu saja yang pertama mereka ucapkan adalah “Fotoin
dong.” Gas. Laksanakan. Jeprat jepret.
Beranjak lagi ke
kanan jalan seberang BNI, bertemu dengan Mawar dan rombongan ciwi-ciwi, semua
minta difoto, semua bahagia. Terkecuali gue yang menggosok garam di atas luka.
“Perhatian untuk
rombongan, waktu menunjukkan pukul 20.30, mohon untuk segera kembali ke
parkiran bus karena jam 21.00 kita harus segera pulang.”
Warta kepulangan
telah diberitakan, gue bergegas menuju parkiran bus, di saat bersamaan juga dua
sahabat gue, Haekal dan Nabil muncul di WhatsApp—serupa tapi tak sama.
“Lo lagi di
Malioboro?” tanya Haekal.
“Iya. Sini dong,
maen. Kalo malem pondok kegiatan gak? Gue bertanya balik memastikan apakah
Haekal bisa bertemu gue.
“Waduh, sorry
banget nih. Lagi mau ngaji. Lain kali ya, btw ati-ati kecangkol Bule.”
“Hahaha. Gakpapa.
Nggak lah, Bulenya yang kecantol gue.”
Nabil yang tadi
gue singgung di awal, juga muncul.
“Lo lagi di
Malioboro? Cepet sharelok! Gue otw dari pondok sekarang juga.”
“Lah, pondok lo
gak ada kegiatan, Bil?”
“Gak ada.”
Lima menit
kemudian Nabil sudah berdiri di samping gue yang sedang makan sate di parkiran
bus. Reuni pun terjadi.
“Dulu terakhir ke
Jogja waktu lo ikut gue ya, Zim, waktu
itu kita nyusul Haekal ke pondok.”
“Ah, iya, Bil. Itu
kita bego banget, lima belas kilometer jalan kaki. Pegel semua, hahaha!”
“Gimana kuliah lo?”
Parkiran bus tempat gue mengobrol dengan Nabil |
Satu pertanyaan
yang simpel, namun jawabannya akan panjang. Gue dan Nabil tahu itu. Namun
karena keterbatasan waktu kami hanya bercerita hal-hal kecil yang layak untuk
kami tertawakan bersama, hingga….
“Azimmmm. Heiiii.
Dicariin dari tadii!”
“Kenapa, Mawar?”
“Eh, ada Nabil.
Kamu tuh kuliah di sini ya? Di mana sih?”
“Sunan Kalijaga.”
“Oh. Ok. Eh, Azim
gue minta fotoin yaa…”
“Boleh aja. Di
mana?”
“Di seberang sana.
Dekat penjual wedang ronde.”
“Kenapa harus ke
sana? Gak di sini aja?” firasat gue kembali tidak enak… Perasaan yang sama yang
tadi muncul saat Mawar sempat menyebut nama Amat.
“Hei, Zim! Dari
tadi dicariin susah. Sini!” suara itu, suara berat yang sangat gue kenali, ya,
Amat…
“Fotoin kami
berdua dong,” pinta Mawar dengan nada yang cute.
Degggg! Patah hati
kedua!
Tangan gue
seketika gemetaran. Tak kuasa menahan remuk hati di dalam dada. Pun tak kuasa
mengangkat kamera yang beratnya tak seberapa. Bahkan untuk sekadar membuka
lensa pun gue lupa.
“Jangan pakai
kamera, nih pakai ponselku aja.” Mawar kembali bersuara, terdengar lebih cute
lagi dari sebelumnya.
Jepret. Sebuah
momen terekam—dua sudut pandang; fotografernya patah hati, modelnya gembira
hati. Beda tipis, tapi miris.
“Huftt….” Gue menghela
napas lega sembari menyerahkan ponsel pada Mawar lalu gue kembali melanjutkan
obrolan dengan Nabil, sayangnya jam menunjukkan pukul 21.00, waktunya berpisah
dengan Nabil.
“Makasih ya, Bil,
udah nemenin malam minggu gue yang apes ini.”
“Lo kayak sama
siapa aja. Dulu kan juga sering gini.”
“Maksud lo gue sering
apes?”
“Ya, maksudnya
sering bareng, udah sana gih daripada ketinggalan bus!”
Gue beranjak.
Rombongan beranjak. Bus bertolak. Nabil berpulang. Semua orang pulang ke rumah,
meninggalkan kenangannya di Jogja, beda dengan gue yang justru nelangsa, sudah
gagal menjadi fotografer karena rombongan lebih memilih tukang foto yang lewat,
kini harus menyaksikan pemandangan tak mengenakkan di depan mata—oleh seseorang
yang gue tak ingin kehilangannya. Berat rasanya. Lara sesak di dada.
Sepanjang
perjalanan pulang, supir bus seolah tahu isi hati gue dengan menyetel lagu-lagu
Jawa bertemakan patah hati, sebut saja Wirang yang dinyanyikan Deny Caknan,
juga Klebus yang dinyanyikan Guyon Waton yang sebenarnya lagu itu diciptakan
oleh Ngatmombilung.
Well… Beginilah
jadinya kalau seseorang melanggar prinsip sendiri. Sakit, namun sakitnya hanya
bisa dirasakan sendiri, juga ditambahi mengutuki diri sendiri. Namun itulah
jatuh cinta, indah, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya—orang harus
berani menghadapi akibatnya.
Namun, bukankah
memang gue terlalu sering melanggar prinsip sendiri? Hahaha. Mari kembali
mengutuki diri di akhir tahun yang syahdu ini. Yang lalu biarlah berlalu, tak ada gunanya berlarut-larut dalam hal yang telah lalu.
Komentar
Posting Komentar