Kemunculan Bidadari Kesembilan

            Bulan November minggu terakhir, masa-masa akhir studi semester satu sudah di depan mata. Atau bahasa kerennya, season pertama dunia perkuliahan akan segera gue selesaikan. Dan hari Sabtu, 18 November kemarin adalah pertemuan terakhir di Kelas Intensifikasi Bahasa Arab. Ini juga pertanda kalau minggu depan sudah waktunya tes evaluasi akhir; pertemuan terakhir yang sesungguhnya. Pertemuan terakhir dengan siapa yang gue maksud? Hehehe. Ini dia.

            Ia adalah bidadari kedelapan yang belakangan kadang suka nge-like story Instagram gue. Tapi, gue sendiri nggak mau Ge-er, dan gue juga nggak mau nekat untuk kenal dia lebih jauh, gue nggak mau ada tragedi yang sama terjadi ke gue lagi. Cewek ini berkacamata, hidung pesek, senyumannya lucu. Gue cuma sekadar mau tahu saja dan ingin memasukkannya ke dalam daftar bidadari yang pernah gue temui di kampus, sekali lagi gue disclaimer, gue nggak lagi mencoba mendekati dia.

            Dan tentu saja seperti biasa, gue cari-cari informasi, kebetulan cewek tersebut satu kelas dengan salah satu sohib gue di MA dulu, yaitu Sadad si Genderuwo (lo boleh baca bab Menuju Fase Selanjutnya untuk tahu sedikit). Gue bertanya ke Sadad saat materi sedang berlangsung.

            “Pst, kiw… Dad.”

            “Hoe? KRrkkk.”        

            Gue nggak ngerti kenapa Sadad harus menimbulkan suara aneh tersebut.

            “Si Anu, dah punya lom?” tanya gue dengan nada bicara seperti orang alay.

            “Tunangan. Tunangannya seorang hafidz.”

            “Ehmmm… Jawabannya Masjidun, Bu Devi!” seru gue mengalihkan pembicaraan, dan seolah gue memerhatikan materi.

            Gue mencoba memverifikasi informasi tersebut. Namun, gue tidak mendapatkan apa-apa, ya sudahlah, memang gue jangan dekat cewek dulu. Sudah. Begini saja dulu. Nikmati masa-masa jomblomu. Ada bahagia yang bisa didapat dari menjadi jomblo, kok. Positif gue begitu.

            Lalu, malam harinya…

            Gue tengah mengerjakan packingan di kantor. Kebetulan Afi tidak berangkat karena sedang di luar kota atau semacamnya, jadi gue sendirian di kantor, gue melibas sendiri semua paket. Menyiapkan pengiriman sendiri, menata barang sendiri, mengemasnya sendiri, sungguh, gue sudah terlalu expert dalam urusan kesendirian. Huft.

Anggap aja ini gue lagi selebrasi merayakan cinta yang baru

            Tiba-tiba sebuah notifikasi pesan masuk menganggu telinga gue. Gue memeriksanya. Kebetulan kerjaan sudah selesai dan sudah waktunya gue pulang, eh tunggu dulu, in ikan malam minggu? Waktunya hang-out dong. Eh, tunggu dulu, lo kan jomblo? Oke.

            Vivi di sana ternyata, dia nge-forward pesan dari si Bidadari Kesembilan. Oke gue perjelas, tadi di atas tuh Bidadari Kedelapan, nah sekarang sudah yang kesembilan. Buset, cepet juga ya?

            “Vi, cariin gue cowok, dong!” ujar Si Bidadari Kesembilan di roomchatnya bersama Vivi.

            “Zim, kayaknya ini tanda War Is Over buat lo deh,” kata Vivi.

            “CEPET REKOMEND-IN GUE!” gue antusias banget.

            Ehem. Gue akan jelaskan dulu siapa bidadari kesembilan ini. Tentu saja seperti biasa dengan identitas rahasia (ya meskipun endingnya nggak rahasia rahasia amat). Well, kami sebenarnya sudah bertemu sejak gue masih dalam bayang-bayang Si Anu, iya Anu, paham sendiri kan? Bahkan bisa dibilang, Bidadari Kesembilan ini menjadi saksi kekalahan dan kegagalan cinta gue kepada Si Anu, iya… Anu.

            Namanya Patricia. Punya perawakan tinggi dan senyuman yang lucu. Dia anak kelas sebelah (sebelah mana?). Kami bertemu saat Taaruf Komunikasi (28-29/10) kemarin. Kebetulan juga kami satu kelompok. Nah, loh? Kenapa dunia jadi sesempit ini sih?

            Oke, cukup ya perkenalannya. Iya, gue memang cuma tahu itu.

            Kembali ke malam minggu yang sepi.

            “Udah gue rekomend-in, Zim. Tapi kayaknya dia nggak yakin deh kalo lo udah move on dari yang sebelumnya, MAMPUS LO,” jelas Vivi.

            “AH, BISA-BISANYA? EMANG DIA TAU DARI MANA?” kesal gue, sekarang gue sudah merobek baju dan berubah menjadi Manusia Harimau.

            “Story WhatsApp lo katanya. Lagian lo ngapain sih pake bikin story galau-galau gituan?” Vivi berbalik kesal, seperti biasa, dia sekarang berubah menjadi Hulk online.

            “Story WhatsApp yang mana coy? Story WhatsApp terakhir gue kan gue ngerekam kerjaan gue?”

            Vivi meng-forward kembali pesan dari Patricia.


            “Berarti intinya dia nggak mau ya sama gue? Ya udah sih nggak apa-apa,” simpel gue.

            “Ya jangan nyerah gitu dong pea! Gini aja, lo jangan bikin story galau selama satu minggu ke depan, biar doi yakin!” perintah Vivi.

            “Ide bagus sih.”

            Malam itu gue tahu sesuatu; ada cinta baru yang harus diperjuangkan. Namun, berkaca pada kisah cinta sebelumnya, kali ini gue harus lebih berhati-hati, tidak boleh terburu-buru. Sampai di sini, gue teringat perkataan Egi pada bab “Perayaan Bayangan”, “Nih inget. Kalo lo suatu saat nanti ‘jatuh cinta’ sama orang lagi, jangan terlalu berharap. Gua aja gitu. Gua nggak berharap lebih, makanya kalau gua gagal nggak perih-perih banget”

            Sejauh ini gue sudah mengaplikasikan perkataan Egi, terbukti pada Bidadari Kedelapan yang sama sekali nggak gue harapkan untuk gue miliki, lalu sekarang Bidadari Kesembilan, gue nggak terlalu berharap. Tapi ya nggak nolak sih kalau sama doi, wakakakaka.

Gue kembali melanjutkan perjalanan gue mengarungi malam minggu ini. Beranjak dari tempat kerja gue on the way ke rumah teman sekelasnya Sadad dan Aufa, mereka sedang nongkrong di sana, dan ceritanya gue mau join. Sekali-kali lah gue jadi anak tongkrongan, masa jadi budak korporat terus? Wkwk.

            Pukul 20.30, gue sampai di basecamp tongkrongan Sadad dan Aufa. Tempat ini adalah kediaman Syauqi, teman sekelas Sadad dan Aufa di kelas Ilmu Alquran dan Tafir A. Di sini juga terdapat dua orang lain yang entah siapa namanya. Kami bergenjreng-genjreng ria dengan gitar dan lantunan sholawat yang menentramkan malam itu. Fuuhhhh, adem….

            “Menyukai seseorang kembali, bersiap untuk patah hati kesekian kali, paling tidak hidup tidak melulu tentang masa lalu.”

             -Wira Nagara, Distilasi Alkena.

           


Komentar

Postingan Populer