The First Class
Senin, 21 Agustus kemarin adalah hari pertama perkuliahan dalam kalender pendidikan UIN, tentu saja hari pertama gue masuk ke kelas; bertemu orang-orang baru(lagi). Ada beberapa orang yang sudah gue kenal sebelumnya, seperti Sandi yang kembali satu kelas dengan gue, lalu ada Fadli, Khusna, Alfia, dan Zali yang belakangan bareng Sandi terus karena satu kelompok waktu ospek kemarin. Kelas dimulai pukul 07.50 namun dosen tak kunjung menampakkan diri. Gue sampai bingung harus ngapain lagi dengan smartphone gue, Instagram sudah gue scroll sampai bosan, chat-chat WhatsApp yang tenggelam sudah gue balas satu persatu, semua permainan di smartphone gue juga sudah gue mainkan, selamat gue kini menyandang status “The Most Gabut Man On The World”.
Kelas pada hari itu ditiadakan atau bisa disebut kosong, karena dosen yang bsersangkutan sedang dinas ke luar kota. Yeah, ini dia, pelajaran pertama di dunia perkuliahan berhasil gue dapatkan.
Hari-hari selanjutnya dosen mulai masuk. Tugas mulai bertebaran, berserakan di notifikasi dan penyimpanan, ah sialan. Terus terang kepala gue sempat mengalami migrain gara-gara terlalu overthinking oleh tugas-tugas yang diberikan. Hampir pecah. Bagaimana tidak? Otak gue sudah berlibur selama empat bulan lebih dan sekarang tiba-tiba harus mengerjakan makalah yang bahkan gue tidak tahu sistematika penyusunannya. Ibaratnya gue sedang tidur lalu dibangunkan secara paksa dengan ditarik dan langsung disuruh ikut lari sprint seratus meter, sialan.
Gue mencoba mendamaikan pikiran, mendinginkan kepala (bukan arti sesungguhnya gue beli es batu lalu dikompres). Gue baca satu persatu jurnal online yang ada. Gue kupas sedikit demi sedikit topik yang akan dibahas, dan hasilnya yeahhh, belum jadi juga.
Beranjak dari tugas-tugas. Gue lebih suka menceritakan yang ini. Di kelas gue ada seseorang yang berhasil memikat hati gue, namanya Ari, nama lengkapnya Bidadari, tjieeeee (dibaca sambil kayang di tempat). Cewek ini punya senyum yang manis, bentuk wajah oval, dan wajah yang imut tapi tidak lebay. Bisa dibilang dia punya aura kecantikan yang alami, bukan hasil aborsi (Lah?) Setiap hari ia menempuh kurang lebih 35 km untuk bisa sampai kampus, yang mana ini jadi perbandingan untuk gue ketika gue hendak menyerah dalam urusan kuliah. Gue hanya perlu menempuh sekitar 14 km sedangkan dia 35 km, dan gue masih mau mengeluh? Kadang gue lawan rasa malas gue dengan pemikiran seperti itu.
Setiap kali gue masuk kelas, kehadirannya yang selalu gue tunggu. Dalam hati bertanya-tanya, “Bidadari ke mana ini? Kok belum sampai? Apakah Malaikat mencegahnya turun karena Tuhan tidak mengizinkannya? Hahaha.” Begitu pintu kelas dibuka, krengket… Muncul wajahnya yang selalu bisa gue ingat (karena gue lumayan bego untuk mengingat wajah orang di kampus, semuanya kayak sama aja). Dia tidak pernah duduk di kursi terdepan, selalu kursi di baris kedua atau seterusnya. Dan dia adalah tipe manusia yang lumayan mudah bergaul kata gue, berbanding terbalik dengan gue yang hanya bisa bergaul dengan orang-orang tertentu. Sungguh disayangkan. Beda tipis tapi miris.
#Now Playing: Sheila On 7: Pemuja Rahasia.
Namun sayang, si Bidadari ini telah memiliki tambatan hati. Dia sudah ada tempat untuk berpulang. Bagaimana gue bisa tahu? Pada sebuah kesempatan gue mendapati dia pulang kuliah dibonceng seorang cowok. Awalnya gue pikir itu hanya temannya yang mungkin pulangnya satu arah, namun setelah melakukan ritual “stalking” seperti yang dilakukan para pemuja rahasia pada umumnya, yap, benar sekali… Dia telah memiliki pujaan hati. Ahhhh shiittt… patah hati, patah gigi, patah rambut. Akhirnya, mau tidak mau gue harus mengingkari prinsip “Mencintai Harus Memiliki” dan mengakui bahwa “Mencintai Tidak Harus Memiliki”. Di sinilah gue, duduk di seberang dia, menikmati indahnya dari sisi gelap diriku yang fana. Ahhhh, meng-ghatelkan.
#Now Playing: Sheila On 7: Lapang Dada.
Tapi gue tidak akan melakukan hal bodoh (baca: gantung diri, nyetop truk, loncat dari lantai empat, dsb.), gue sudah beranjak dewasa, gue sudah harus bisa berlapang dada. Layaknya sebuah pertandingan sepakbola, gue kalah dan gue tidak boleh mengamuk (dikhawatirkan ada korban jiwa). Gue tetap menjadikan doi sebagai motivasi untuk semangat berkuliah, mencoba mengambil hikmah dari kejadian ini, busett hikmah, lagi mandi dia di dalam, ah elahhh.
Gue juga sadar bahwa gue memang belum bisa “niat” dalam menjalin sebuah hubungan. Gue “belum selesai” dengan kejadian Desember tahun lalu, gue belum bisa menemukan alasan mengapa gue harus menjalin sebuah hubungan lagi, no way, nggak dulu. Meskipun gue sendiri sempat dekat dengan seseorang yang nyaris terlalu dalam dan menjadi sesuatu yang lain (baca: nggak usah dibaca), tetapi pada akhirnya gue menyerah, lagi. Gue takut kalau terlanjur jauh bisa membuatnya lebih sakit. Huft. And here we go, gue kembali berjalan sendirian menyusuri jalanan, mencoba mencari arti pertemanan, arti sebuah perjuangan, dan bila nanti waktunya sudah tepat gue yakin gue bisa mengerti apa arti cinta sesungguhnya. Ya!
Komentar
Posting Komentar