Percakapan Dengan (Ex) Ketua Rayon

 

            Sang Surya membakar habis kulit-kulit kami. Sesekali awan berkumpul melindungi kulit kami, namun angin mengusirnya dengan halus, awan-awan tersebut datang dan pergi secara berkala. Di antara lautan massa dalam gedung ini, mungkin bukan gue yang merasa malas namun terpaksa hadir. Ya, kami sedang menghadiri acara pembekalan untuk masa pengenalan lingkungan kampus yang akan diadakan rabu depan. Gue masih menopang dagu dengan tangan kiri, sesekali memejamkan mata, melek sebentar, terpejam lagi. Not gonna lie, gue malas ditambah gue juga lelah karena gue harus berangkat kerja lebih pagi dari biasanya dan sekarang harus menempuh jarak jauh untuk mendengarkan “mereka” berbicara. Ah, ya sudahlah mau bagaimana lagi?

            Gue WhatsApp Sandi, menanyakan apakah dia sudah sampai di tempat gue menopang dagu ini (baca: gedung FUAD). Sleret… Slepek… Dengan lihai gue mengoperasikan handphone Redmi 10 keluaran tahun 2022 yang masih mulus no minus ini.

            “Udah nyampe belum rombongan lo?” tanya gue.

            “Udah, ini gue di belakang. Kagak kedengeran suaranya, busett.”

            “Lho, ini kan chat. Ya ga kedengeran lah?”

            “Itu yang lagi ngobrol di depan, Pe’a!”

            Menit demi menit berlalu. Waktu asar tiba. Kami menunaikan salat kemudian menuju ke lokasi selanjutnya yaitu masjid kampus yang masih dalam proses pembangunan. Pembekalan part 2 berlangsung. Tampak samar-samar muka orang yang mungkin layak mendapatkan julukan manusia paling sabar di kampus, wkwk. Ia adalah Kak Pena, rambutnya gondrong dan tubuhnya tinggi. Ia menyampaikan perlengkapan-perlengkapan apa saja yang harus dibawa saat hari H nanti. Gue dan rombongan Sandi duduk di belakang, yang kami dengar pun samar-samar seperti yang kami lihat.

            “Talinya warna biru,” ucap Kak Pena.

            “Nah, catet tuh batiknya warna biru,” sahut Sadad.

            “Bukan batiknya yang biru! Tali ID Card-nya,” ngeyel gue.

            Lalu, jawaban aneh ini muncul.

            “Mukanya yang harus dicat biru.”

            Huft.

            Pembekalan dilanjutkan dengan berkumpul per fakultas di lapangan. Waktu menunjukkan pukul 17.20, azan magrib akan segera berkumandang. Lagi dan lagi kami mencatat barang yang harus dibawa.

            “Nasi meong makan lele, kapal feri terbakar…” ucap Kakak-kakak Panping yang entah siapa namanya, gue lupa.

            “Buset. Mau ospek aja disuruh bawa kapal. Ga bahaya ta??” dalam hati gue bertanya-tanya.

            “Engga gitu konsepnya, Mas. Itu tuh teka-teki, nanti ditebak, nah yang dibawa itu hasil tebakannya.”  Si Entah Siapa Dia, tiba-tiba bisa dengar suara isi hati gue, agak lain.

            “Kok dia bisa denger suara hati gue?” gue bertanya-tanya lagi.

            “Suara hatimu kenceng banget, Mas. Sampai nama-nama mantanmu aja aku tahu.”

            Sialan. Skippppp.

            Lalu, muncullah suara yang tidak asing itu. Suara yang belakangan gue kenali di tempat kerja. Dia adalah orang yang selalu berangkat kerja di waktu menjelang sore. Suara itu, sorry, suara orang itu menyapa gue.

            `”Masih lama nggak, Zim?” Yap, itu adalah suara dari Mas Haikal, ia adalah rekan kerja gue.

            “Bentar lagi, Mas. Ini lagi absen,” jawab gue.

            “Kalo udah selesai ketemu gue di tikungan ya!”

            Bussettt, ketemu di tikungan? Lucu banget bahasanya. Di samping masih takjub dengan kalimat “temui gue di tikungan”, gue juga bertanya-tanya ada apa gerangan Mas Haikal mengajak gue ke tikungan? Tanpa basa-basi dan another action lagi, setelah selesai absen gue langsung menuju lokasi yang dimaksud. TI KU NGAN.

            “Halo, Mas, ada apa yaa manggil kee….. WHATTT THEEEE??? EHHHH.” Gue yang mencoba bertanya perihal apakah Mas Haikal mengajak gue ke tikungan, langsung mendapat jawabannya setelah bertemu wajah orang yang satu ini. Gue mengenalnya dari Atsar. Ia adalah Mas Syafiq, pimpinan redaksi Atsar 32-33 yang kebetulan wakilnya adalah Bang Khamid. Dan dia juga sempat menjabat sebagai ketua rayon PMII IAIN Pekalongan beberapa tahun yg lalu, entahlah gue kurang tahu.

            “AAAHHHAA!! Kamu ternyata, Mas! Hehe.”

            “Halo, Azim. Apa kabar?”

            “Alhamdulillah. Masih bernapas, ada apa ya?”

            “Lo kuliah di sini juga ternyata? Ambil jurusan apa?”

            “KPI.”

            “Buset. Udah kayak Khamid aja lo. Mau jadi kayak Khamid ya?”

            “Ya… namanya juga passion, Mas.”

            Dan seperti percakapan gue dengan Imam, Si Ketua Pramuka dalam bab Percakapan Dengan Ketua Pramuka, percakapan bersama seorang pejabat organisasi seperti ini sangat mengasyikkan bagi gue. Dan tentu saja karena Mas Syafiq ini adalah seorang senior, ia langsung memberi gue stimulasi-stimulasi positif tentang dunia perkuliahan nanti.

            Yang paling gue ingat adalah ini.

            “Lo dulu di MA aktif, di kampus juga harus aktif dong.” Mas Syafiq menampilkan raut muka yang serius.

            “Iya tuh, kayak Syafiq ini…” sahut Mas Haikal.

            “Insya Allah deh…” Gue yang belakangan mengalami “padam api” karena krisis jati diri selama kurang lebih satu semester, mau tidak mau harus mengakhiri kalimat dengan kata “deh”.

            “Kok cuma ‘deh’? Ini kesempatan bagus loh, Zim. Aku yakin kamu bakal dapet panggung besar di kampus. Jangan disia-siakan.”

            Kalimat tersebut masih terngiang-ngiang di kepala gue hingga detik ini. Mungkin Mas Syafiq ada benarnya, ada bara api yang harus gue nyalakan kembali. Gue harus mulai membangun kembali semangat lama gue yang menggebu-gebu. Azim yang selalu superior, Azim yang selalu tangguh, dan Azim yang tak mudah jatuh. That’s it!

Potret perubahan kepribadian gue berdasarkan lagu yang gue dengarkan

            Sang Surya telah tenggelam. Azan maghrib pun dikumandangkan dari segala penjuru. Gue pamit kepada mereka berdua. Dan dalam lubuk hati yang terdalam gue seperti baru saja diberi korek untuk gue bakar segera. BAKARRR!!! Nyalakan apimu! Rapatkan barisanmu! Genggam petirmu! Itulah yang terlintas di benak gue ketika berjalan menuju parkiran motor.

            Terima kasih, Mantan Ketua Rayon, sekarang gue punya korek.

Versi terkuat dan terbaik diriku (2021 - 2022)


           

Komentar

Postingan Populer