Gue baru saja sampai di parkiran yang baru diresmikan awal semester 2 ini, lalu melihat Tammam yang sedang menata parkiran bersama Ustaz Rozaq. Jiwa simpati gue seketika meronta-ronta untuk menolong mereka, akhirnya gue parkir motor lalu membantu mereka menata parkiran.
Pagi ini sama seperti hari-hari belakangan, mendung. Akhir-akhir ini langit senang menampakkan wajahnya yang murung. Entah ia akan menumpahkan air mata yang menjelma gerimis, atau membendungnya terlebih dahulu agar bisa turun dengan deras nantinya. Udara yang semriwing menggerogoti sekujur tubuh gue.
Semua ke-semriwingan itu sirna saat tangan gue beradu dengan pegangan jok sepeda motor. Satu demi satu sepeda motor gue tata dengan rapi, serapi tatanan rambut gue hari ini. Jiakhh.
Lalu, Rizal si Ketua PKS datang dari arah timur, dari luar gerbang parkiran. Rizal bersalaman dengan Ustaz Rozaq, lalu menyapa kami berdua.
"Assalamu'alaikum!" ucapnya dengan tampang sok ganteng, padahal memang ganteng. Jadi, siapa yang sok ganteng di sini?
"Waalaikumussalam," jawab gue dan Tamam.
"Waduh, maaf nih telat. Sorry banget ya," ujar Rizal merasa bersalah karena sikap sok gantengnya.
"Gapapa, santai aee. Langsung in aeee. Oee aeee." Tamam mulai bertingkah layaknya primata yang hobi menenteng rusa ke sana kemari. Gue senyum formalitas dengan memamerkan gigi kuning keemasan gue. Seiring dengan Rizal yang membaur dengan gue dan Tamam, Ustaz Rozaq kemudian pergi meninggalkan parkiran menuju ruang guru.
Detik demi detik berlalu. Menit demi menit berjalan. Jam sudah menunjukkan pukul 07.15 istiwa, tanda bel sudah saatnya berbunyi, dan murid-murid harus berbaris melaksanakan doa pagi. Namun, tidak dengan kami bertiga. Kami menunggu hingga setidaknya pukul 07.30 istiwa, atau paling lambat-lambatnya adalah murid yang sering terlambat baru sampai ke parkiran. Sungguh patokan waktu yang aneh.
"Ayo kita masuk kelas aja, males gue nunggu kelamaan," ajak gue pada mereka berdua. Namun, ditolak dengan mentah-mentah.
"Nggak, nanti aja ah. Kita tunggu sampai 'Si Ninja' datang dulu," jawab Tamam santai.
"Iya, kita tunggu dulu sampai "Si Ninja' datang," tambah Rizal.
"Si Ninja" adalah anak kelas 12 Ipa yang sering banget terlambat masuk sekolah. Setiap hari dia harus menempuh jarak berkilo-kilo meter dari Pemalang menuju Simbangkulon menaiki sepeda motor Ninjanya demi menuntut ilmu. Namun, seberapa dia rajin berangkat sekolah, dia selalu terlambat masuk kelas. Meski demikian dia tak pernah putus asa, mungkin motto hidupnya adalah "Tidak ada kata terlambat untuk belajar". Wuidiiih.
Karena menunggu itu membosankan, ke-absurd-an gue pun kumat. Gue mengambil sebuah tutup cat dinding besar, lalu melemparkannya layaknya Captain America melempar perisainya.
I Can Do This All Day.
"Ga usah kebanyakan tingkah, ntar kenapa kenapa yang disalahin parkirannya. Parkirannya angker lah, apa lah." Rizal mulai mengeluarkan fatwa-fatwanya yang tidak gue gubris sama sekali.
Lalu, kejadian kampret itu terjadi.
Usai melempar perisai Captain America KW ke arah dinding sebelah barat, Rizal memberitahu gue bahwa di balik dinding itu adalah parkiran anak putri. Insting predator, sorry gue ralat, insting buaya darat gue seketika naik drastis. Gue langsung mengeluarkan jaring dari tangan gue lalu berayun menuju dinding tersebut.
Tunggu dulu, buaya kok pake jaring? Buaya jenis apa ini?
Gue langsung melompat ke arah dinding yang dimaksud. Alih-alih mendapat pemandangan bagus, gue justru terpeleset.
Jari kelingking dan jari manis gue tersangkut di sebuah cor-coran semen yang tajam. Sret.... Keeekkkk... Cuuurrrrr....
Darah bercucuran keluar, gue berteriak kesakitan meminta tolong.
Ambulance pun langsung datang dari puskesmas Buaran, melaju kencang, namun hanya lewat di depan gang. Ambulance sialan.
Gue langsung berlari ke tempat Tamam dan Rizal duduk. Gue menunjukkan tangan gue yang penuh darah. Mereka bengong.
"TOLONGIN GUEEE, TAM!" teriak gue dengan speaker ala Godzilla dan membuat siput di telinga Tamam roboh, rata dengan tanah.
"Lah, gue harus ngapain? Salah lo sendiri," jawab Tamam sambil memasang wajah datar dan benar-benar seperti tidak peduli dengan keadaan gue.
"YA LO KAN ANAK PMR, KASIH GUE OBAT KEK APA KEK!"
"PMR tidak membantu Spider-Man." sekali lagi, jawaban Tamam selalu membuat darah gue naik. Sekarang sudah hampir ikut SNMPTN, keren.
"Kan tadi gue udah bilang, gak usah kebanyakan tingkah, lo sih... Banyakan tingkah." dan sekali lagi, fatwa dari Rizal keluar. Namun, kali ini penampilannya berubah, dari yang tadinya memakai seragam pramuka berubah memakai jubah dan peci putih serta surban yang dikalungkan. Allahhummaghfir!!!
"Pliissss lahh, Tam. Bantuin gue... Kasih obat luka kek, alkohol kek, atau apalah gitu," pinta gue kesal.
Tamam tersenyum meledek, lalu jawaban menyebalkan keluar lagi dari mulutnya yang lebih mirip tempat pembuangan akhir.
"Di ruangan PMR cuma ada kain kasa."
"YA UDAH GAPAPA, KAIN KASA KEK, KAIN KAFAN KEK, ATAU KAIN APALAHHHH YANG PENTING BISA NUTUP DARAH, KAMPRET!"
"Ah, nanti dulu. Si Ninja belum dateng."
Gue kemudian meninju Tamam ke udara, dia melayang-layang disertai sepeda motor yang berdatangan menubruknya. Lalu, dengan satu jentikkan jari, gue ledakkan motor-motor itu.
CHIBAKU TENSEI!
Tolong jangan dibayangkan kalau anda tidak mau epilepsi mendadak.
Lalu, suara itu, sepeda motor itu, bremmm, ya, SI NINJA. Si Ninja datang dengan gagahnya menuju parkiran. Gue langsung menurunkan Tamam, Rizal bangkit dari tempat duduknya, Tamam menduduki Rizal, kami semua menyambut kedatangan Si Ninja dengan meriah, diiringi dengan tari Saman.
"ALHAMDULILLAH, YA ALLAH. TERIMA KASIH ENGKAU TELAH KIRIMKAN MALAIKAT PELINDUNGKU." gue menangis sambil memeluk erat Reza, Si Ninja tersebut.
"TERIMA KASIH, YA ALLAH." gue masih menangis terharu, Rizal diam, Tamam diam, Reza diam, CCTV parkiran pun ikut diam.
#nowplaying: Ungu - Alhamdulillah
Kami pun bergegas menuju kelas masing-masing. Begitu melewati gerbang, terlihat dengan jelas beberapa anak yang terlambat sedang dihukum berdiri di halaman. Pak Adzkiya menghadang kami bertiga, lalu bertanya, "Jaga parkir apa terlambat ini?"
"Jaga parkir, Pak," jawab gue.
"Oh, ya udah, doa dulu sini."
Alih-alih ikut berdoa, gue justru ngibrit ke arah keran di depan perpustakaan, membersihkan darah yang sudah mulai beku karena terlalu lama bereaksi dengan oksigen.
"ARRGHHHH..," gue berteriak kesakitan, perih, "ARGHHHH."
"Kenapa, Mas?" Pak Adzkiya memergoki gue yang tidak ikut berdoa.
"Lagi bersih-bersih aja, Pak. Protokol kesehatan, cuci tangan," kata gue dengan pede, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang ada.
#nowplaying: RAN - Terlatih Patah Hati
Gue kemudian berjalan menuju Rizal dan Tamam yang sedang berdoa. Kampret! Tiba-tiba ketika gue sampai sudah selesai. Ya, sudahlah, mau bagaimana lagi?
Gue masih meringis menahan perihnya tangan yang kembali dipenuhi darah, gue langsung ingat bahwa Wafa juga seorang anak PMR. Gue langsung melompat dari lantai bawah menuju ke atas, tepat di depan kelas. Gue pun masuk kelas.
"WAFA! TOLONGIN GUE! TANGAN GUE BERDARAH!"
"WADUH!" jawab dari Wafa lebih membuat gue tenang, setidaknya setelah gue bilang bahwa tangan gue berdarah, Wafa langsung membawa gue ke ruangan PMR, sangat kontras dengan ketuanya yang kampret, Tamam.
"Waduh, Zim, nggak ada obat luka, habis. Cuma ada kain kasa, nih!" ujar Wafa.
"Udah gapapa, yang penting bukan kain kafan, siniin!" kata gue bergegas. Lalu masalah lain muncul, tidak ada plester untuk membalut kain kasa tersebut.
"Waduh, Zim, plesternya nggak ada!"
"INI RUANGAN PMR APA ISI HATI NABIL SIH? KOK SERBA NGGAK ADA?"
Wafa kemudian berpikir, sampai urat-urat kepalanya kelihatan. Gue juga ikut berpikir, urat-urat kepala gue juga kelihatan, bedanya urat kepala gue membentuk sebuah relief. Isinya adalah: "TAMAM BAJINGAN!"
"NAH, ITU PLESTER!" gue menunjuk pada sebuah plester yang biasa digunakan untuk merekatkan kertas, bukan plester khusus luka.
"Itu kan plester buat kertas, Zim." Wafa mencoba meluruskan otak gue yang sudah geser.
"Udah, pake aja!"
Wafa kemudian membalut jari kelingking dan jari manis gue dengan kain kasa, lalu memotong plester dan menempelkannya di kain tersebut. Gue akhirnya bisa menghirup napas lega. Tenang. TAPI PERIH, COK!
Masalah lain muncul ketika gue kembali ke kelas. Ya, tentu saja si Kampret Nabil. Beberapa minggu lalu, tepatnya pada kejadian Lima Cowok Bingung, Nabil terjatuh dari sepeda motor dan lutut kanannya terluka berdarah-darah. Ketika masa penyembuhan, gue selalu menyentuh bagian tersebut, memancing amarah Nabil. Kali ini gue pasti kena comeback!
Bagian Nabil terjatuh sepulang dari Weloasri di bab Lima Cowok Bingung memang sengaja tidak gue tulis, awalnya gue kasihan dengan Nabil. Namun, ketika gue kembali ke kelas bersama Wafa, hal yang membuat gue kasihan tersebut hilang.
Nabil tertawa dengan kencang. Sekencang-kencangnya kencang. Siput di telinga kanan gue sampai Mengungsikan diri ke telinga kiri.
"HAHAHAHAHHAH, MAMPUS KENA AZAB LO!" Nabil tertawa dengan puasnya, mukanya sekarang terlihat seperti aktor yang berperan sebagai penjahat besar, namun gagal lolos audisi. Lebih menyebalkannya lagi, Nabil berlari ke kelas MAK, kelasnya Arjun dkk., lalu memberitakan berita gempar ini di kelas tersebut. Arjun dan para komplotannya langsung datang menghampiri gue. Bukan untuk bersimpati atau mengasihani gue, melainkan untuk menertawakan dan menyentuh-nyentuh bagian yang terluka. Ya, teman bangsat kalau gue sebut.
Gue sebenarnya sudah mencoba positive thinking, namun entah mengapa setiap dua minggu sekali di hari ahad, selalu ada saja kejadian kampret yang menimpa gue. Pelajaran hidup nomor sekian:
LO CARI SENDIRI LAH, AH MALES GUE!
Komentar
Posting Komentar