Pertemuan Kembali Dengan Miftah

Alhamdulillah. Hal yang sangat gue harapkan di liburan ini benaran terjadi. Ya, Miftah pulang dari Ponpesnya untuk liburan. Meskipun hanya satu minggu jatah dia berlibur, gue tetap bersyukur masih bisa menatap wajahnya kali ini. 

Miftah sampai di rumah pada malam Jumat, 16 Desember yang lalu. Malam setelah kejadian "Gajanton" menimpa gue. Malam hari ketika Arjun dan Aufa baru pulang dari rumah gue, gue whatsapp Miftah. Sekadar bertanya.
"Lo udah nyampe belom?" kata gue.
"Udah, nih, baru aja. Capek banget, lo mainnya besok aja ya jangan sekarang!" jawan Miftah, meminta istirahat sejenak dari panjangnya perjalanan Yogyakarta - Pekalongan. Gue menanggapi, "Oke. Besok gue ke rumah lo."

Beberapa saat kemudian, Baqi, sahabat lama gue yang masih sering riwa-riwi di Kertijayan setiap malam Jumat untuk menginap di rumah neneknya, whatsapp gue, bunyinya, "Besok lo disuruh main ke rumah Miftah nggak?"
"Iya, nih, lo juga?" balas gue.
"Iya, bareng yuk!" Baqi antusias. 
"Oke!"
Jumat paginya, selepas mandi dan sarapan, Baqi langsung menghampiri gue di rumah. 
"Assalamu'alaikum," kata Baqi sambil mengetuk pintu rumah gue.
"Waalaikumussalam. Ayo gasss!" kata gue antusias banget. Ya, secara... gue bakalan reunian dengan sahabat gue yang telah lama hilang, eh bukan, telah lama nggak ada, AH POKOKNYA ITU LAH!

Baqi kemudian mempersilakan gue untuk mengendarai sepeda motornya, dan dia duduk di jok belakang, seperti yang biasa kami berdua lakukan setiap malam Jumat dan hari Jumatnya. Kalau malam Jumat, kadang-kadang kami tidak tahu harus melakukan apa, jadi kami hanya berputar-putar keliling kecamatan sambil ketawa-ketawa nggak jelas. Kami seperti dua idiot yang mengganggu keamanan berlalu lintas.

Glengg!!! Suara mesin sepeda motor supra bapack berkumandang di depan rumah gue. Gas motor kemudian gue tarik dengan pelan dan bergeraklah kami menuju rumah Miftah di Kertijayan gang 5. Rumah Miftah ini besar, sebelahnya adalah toko sembako milik orang tuanya. Toko ini biasa dikenal orang-orang dengan sebutan "Toko Sembako Hj. Musyarofah".
Tidak butuh waktu lama, kami berdua pun sampai di rumah Miftah. Gue membuka gerbang pintunya, seperti biasa. Lalu, gue mengetuk pintu rumah Miftah. Gue bersiap-siap kembali menatap wajahnya yang sudah lama gue rindukan.

Bukan tanpa alasan gue merindukan sosok yang selalu mendengarkan keluh kesah gue ini. Perpisahan kami 6 bulan yang lalu terbilang cukup asem. Nggak berkesan. Dan membuat gue cukup tersakiti. 

Enam bulan yang lalu, sebelum Miftah berangkat ke Ponpes, dia dan gue masih sempat menghabiskan waktu bersama dengan sepupu gue dari Tangerang yang kebetulan sedang ikut Pak Lek (Paman) gue ke kampung halaman, karena sedang ada urusan. Namanya Zidni, anak kedua dari Pak Lek Fauzan. Dia satu tahun lebih muda dari gue, dan satu angkatan dengan Miftah umurnya. Kami sangat akrab saat itu. Bahkan, Zidni pun sering gue ajak bermain PlayStation 4 di rumah Miftah bersama dengan dua sahabat gue yang lain, yaitu Baqi dan Toni. Selain itu, Zidni juga sempat gue ajak bermain satu episode di serial YouTube gue, "Manusia Manusia Absurd". Buat kalian yang belum tahu, serial ini adalah serial komedi yang gue sutradarai sendiri, dan gue garap bersama 3 sahabat gue ini. Kadang-kadang juga mengundang bintang tamu yang juga teman kami sendiri.
Kalau kalian kepo dengan serial ini, kalian bisa tonton di link ini :

Balik lagi ke perpisahan gue dengan Miftah.
Pada dua hari terakhir Zidni di Pekalongan, Zidni merasa kesepian. Dewi, anak Pak Lek Maskuri yang biasanya menemani Zidni, sedang sibuk mengurusi MOS, Dewi seharian hanya berkutat buku dsn bolpoin di rumah Pak Lek, karena dia baru masuk di sekolah menengah kejuruan. Sementara Zidni malam itu duduk di depan rumah Pak Lek, depresi nampaknya karena tak punya teman mengobrol. Zidni bingung, saat itu kebetulan gue sedang pergi dengan Miftah. Gue melihat story whatsappnya yang berisi foto halaman depan rumah Pak Lek, dengan caption "Sepi banget". Gue berkomentar, "Mas Bana ke sana sekarang, sama Miftah juga."
"Asyik," jawabnya senang.

Kami bertiga akhirnya duduk bersama di halaman depan rumah Pak Lek, tepat di bawah pohon mangga yang umurnya bahkan lebih tua dari kami bertiga. Kami saling bertanya-tanya, apa yang akan terjadi jika Miftah dan Zidni sudah tidak bersama gue?
"Santai aja, Zim. Lo bisa kok ngelakuin ini. Dan yang paling penting, jangan lupa taruhan kita, ya!" kata Miftah memberi gue motivasi. 
"Mas Bana kalo kesepian WA Zidni aja, Zidni bisa temenin Mas Bana, kok," tambah Zidni.
Esok harinya, ketika gue berpikir satu hari tersisa untuk gue bersama mereka, hal tersebut sirna. Gue yang saat itu sedang rapat membahas majalah bersama para pengurus harian majalah, yaitu Arjun, Aufa, Nabil, Asbiq, dan Tsabata, terkejut melihat unggahan Miftah di WhatsApp. Unggahan tersebut memperlihatkan Miftah sedang di-tes virus corona, apakah ia positif atau negatif. Saat itu pandemi corona memang belum terlalu terkendali seperti saat ini.
"Loh, lo udah berangkat, Mif?" tanya gue panik, gue bahkan belum sempat mengucapkan salam perpisahan. 
"Enggak, gue berangkatnya besok. Ini cuma tes corona aja," jawab Miftah membuat gue lega.
"Alhamdulillah, kalo gitu kan gue masih ada waktu buat ngucapin salam perpisahan ke lo," kata gue dengan pede.
"Tapi, waktu kita tinggal nanti malem doang, Zim. Tapi, nanti malem itu gue harus kemas-kemas. Gue harus ngerapiin kamar, dan nyiapin barang dan baju yang mau dibawa." semua ke-pedean gue langsung sirna. Gue terdiam.
"Oh, gitu, ya? Ya udah, deh. Emmm... lo lanjut dulu aja deh, Mif, gue juga lagi ada urusan, nih." gue mengalihkan pembicaraan.
"Iya, Zim."
 Sore harinya, setelah gue pulang dari rapat majalah, Zidni mengabari gue bahwa dia dan Pak Lek Fauzan akan pulang ke Tangerang malam itu juga, sungguh ke-mendadakan yang sad.
"Gak bisa ditunda satu hari, Zid?" pinta gue.
"Nggak bisa, Mas Bana. Zidni pamit dulu, ya!" Zidni menutup telepon.
Gue yang baru sampai di rumah langsung bergegas menuju rumah Pak Lek Maskuri, tempat Zidni dan Pak Lek Fauzan menginap selama di Pekalongan 2 minggu.
Gue berlari. Adegan yang sangat dramatis. Pada akhirnya gue berhasil mendapati mereka berdua di gang. Mereka sedang menunggu bus. 
"ZIDNIII! TUNGGU MAS BANA ZIDNI! ZIDNIII!!" napas gue terengah-engah karena berlari dari rumah sampai ujung gang, melewati masjid. Sangat jauh.
"Mas Bana!!! Zidni pamit ya! Jaga diri! Jangan kebanyakan depresi!" dari kejauhan Zidni berteriak. Dengan kekuatan gue yang tersisa, gue memacu kecepatan lari gue sebisa mungkin sebelum bus sampai. Akhirnya gue masih sempat menatap muka Zidni. 
"Take care, Zid. Jangan lupain Mas Bana, ya!" 
"Iya, Mas!"

Bus pun datang. Pak Lek berpamitan ke gue.
"Bana, Pak Lek pamit pulang dulu ya, titip salam buat Ibu sama Bapak," kata beliau.
"Iya, titip salam juga buat orang rumah, Pak Lek."
Mereka berdua kemudian melangkahkan kaki ke tangga bus. Perlahan pintu bus tertutup. Bus pun berjalan menjauh dari gue. Dan untuk pertama kalinya, gue benar-benar merasa patah hati.
Suara azan magrib bahkan hampir tak terdengar di telinga gue yang sekarang dipenuhi suara-suara kesepian. Dan gue tahu, sebentar lagi akan datang ke gue patah hati selanjutnya.

Pukul 09.00 WIB, Miftah sudah mengunggah foto sedang berada di rest area tol. Gue nggak tahu spesifik itu tol mana, yang jelas Miftah sudah berangkat. Gue tidak sempat menyalaminya dan berjabat tangan. Hanya tertinggal sebuah pesan di layar handphone gue. Bunyinya adalah, "See you next time! Semoga Desember corona nggak makin parah!"

Hari itu gue tahu sesuatu: gue patah hati untuk kedua kalinya dalam kurun waktu dua hari. Pertama karena Zidni, dua karena Miftah. Malam harinya gue mendatangi pohon mangga dan tiga kursi tempat terakhir kami berbincang. Di situlah gue menangis tak terbendung. Yang paling sakit yang pernah gue rasakan. Dada gue sesak, mata gue dipenuhi air.
Bayangan perpisahan pilu itu selalu gue ingat ketika melihat pintu yang sekarang sedang gue pegang gagangnya ini. Lalu, dengan satu tarikan napas, gue mengucap salam.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumussalam." suara yang sudah lama gue rindukan itu kembali terdengar. Cekrek. Pintu dibuka, muncullah Miftah dari dalamnya.

Alih-alih memeluk Miftah sambil menangis karena terharu, gue justru speechless dan hanya bisa menjabat tangannya sembari berkata, "It's been a long time, Buddy!"
Miftah mempersilakan gue dan Baqi masuk. Kami pun langsung menuju kamar Miftah, basecamp kami para manusia absurd 6 bulan yang lalu, dan dulu. Di tempat inilah kami sering bermain PlayStation 4 dan berbincang-bincang. Tempat yang selalu gue bayangkan bagaimana keadaannya sekarang. Kini gue kembali masuk ke dalamnya, keadaannya masih sama: masih kamar.
Kami bermain dengan senang. Akhirnya setelah sekian lama berpisah, kami bisa bersatu kembali. Hanya saja, ada yang kurang, yaitu Toni. Ke manakah kamu, Toni?

Kami saling berbagi pengalaman selama 6 bulan ini. Gue menceritakan tentang kisah gue dengan teman-teman absurd gue di majalah, sementara Miftah mendapatkan teman-teman absurd dan sesama Kpopers di ponpes. Sefrekuensi katanya. Lalu, Baqi bercerita bahwa temannya bego semua. Nggak ada yang bisa diajak contek-mencontek.

Gue tahu sesuatu hari itu. Meski kami banyak mengalami hal selama 6 bulan ini, kami masih sahabat yang 6 bulan lalu masih sering bermain PlayStation di tempat ini. Kami masih diri kami yang dulu, tidak berubah menjadi sesuatu yang lain. Setidaknya itu yang gue tahu.

Komentar

Postingan Populer