Sebuah Konsep yang Rumit

 

            Gelap malam mulai menyapa, namun lalu lalang kendaraan masih sibuk sebab ini jam pulang kerja. Gue masih memegangi setang sepeda motor vario kepunyaan abang gue yang gue pinjam untuk ikut acara pengkaderan di himpunan mahasiswa di Kalipaingan. Di belakang ada Dayat yang masih menjabarkan list warung bakso dan mie ayam yang cukup worth it untuk jadi pelabuhan kami pada waktu magrib ini. Pilihan kemudian mengarah pada sebuah warung di pinggir jalan di daerah sekitaran Kajen. Warung tersebut cukup ramai, kami kemudian berhenti.

            “Warungnya bener ini, Yat?” gue memverifikasi informasi.

            “Iya bener, yok pesan sekarang!”

            Seorang mbak-mbak usia sekitar 24 tahunan menyambut kami dengan senyum yang manis, amat menenangan hati gue yang masih panas gara-gara sesi evaluasi acara bersama para demisioner dan pengurus beberapa jam yang lalu.

            “Saya bakso, Mbak. Lu apa, Zim?”

            “Samain aja.”

            “Minumnya apa?”

            “Es The Medioker.” Gue menjawab dengan posisi muka maju ke depan dan mata yang disipitkan; membaca menu di warung ini.

            “Apaan tuh?”

            “Gak manis, gak pahit, sedang.”

            “Oh iya, kayak skill-skill yang lo kuasai kan?”

            “Ya.”

            Kami duduk di meja nomor tiga dari ujung timur. Agak jauh dari pelanggan-pelanggan lain di warung makan ini yang notabene adalah anggota keluarga yang kebetulan sedang liburan dan menyempatkan mampir. Ada keluarga besar, ada keluarga kecil-kecilan pula.

            Tak berselang lama, pelayan pun tiba menyajikan dua mangkok bakso porsi normal untuk pelanggan yang tidak normal, dan dua gelas es the medioker.

            “Terima kasih, Mbak,” ucap gue sopan, lalu memulai percakapan di sesi makan malam tak diharapkan ini, “Asyik ya punya keluarga kayak mereka…?”

            “Ya, asyik, emang ngapa? Lo mau? Baru juga ultah Sembilan belas udah mikir pengen punya keluarga.”

            “Nggak gitu maksud gue, bego. Ya asyik aja…”

            Apa yang gue katakan bukan tanpa alasan, dan bukan pertama kali juga, setiap kali gue di tempat umum dan melihat keluarga yang saling guyub seperti yang gue saksikan saat ini selalu membuat gue iri. Gue iri bukan karena keluarga gue tidak harmonis, hanya saja gue iri karena gue jarang bisa merasakan hal semacam itu (baca: liburan bersama).

            Terlebih lagi di saat ini, gue kuliah dan bekerja. Pulang kuliah kerja, pulang kerja kecapean langsung tidur, orang rumah juga sama: Nyokap menjahit seharian, lalu di malam hari hanya tersisa lelah, sementara Bokap seharian bekerja ngecap, dan terakhir Abang gue yang jadi staff tata usaha di salah satu sekolah menengah pertama di kota Pekalongan, semua lelah dengan kesehariannya, maka hari libur lebih cocok dipakai untuk beristirahat. Yaaa, kecuali abang gue sih, doi kalo minggu siang selalu ngedate dengan ceweknya yang misterius itu.

            “Iya, gue tahu.” Dayat meraih sebuah bakso dengan sendoknya dan mulai menggigitnya dengan buas layaknya macan kumbang yang baru saja lepas dari kandang dari kebun binatang yang tidak dijaga. Ini kenapa pengandaiannya jadi aneh begini?

            “Tapi, Yat… Lo tahu nggak? Semakin gue mikir dan iri dengan konsep berkeluarga kayak gitu, gue justru takut.”

            “Mmmm… Maksudnya?” tanya Dayat, sambil masih mengunyah bakso.

            “Gue takut sama pernikahan.”

            “Bentar-bentar… Ini bukan gara-gara aplikasi hitam sialan kan? Yang pernah ada trend ‘Marriage is Scary’?”

            “Ya nggak lah, gue nggak se-bego itu. Gue takut karena gue sendiri sudah menyaksikan betapa susahnya jadi orang tua, Yat.”

            “Kenapa tuh? Cerita dong!”

        


            Seperti di bab sebelumnya di mana gue menjemput anak-anak dari bos gue dari tempat bimbingan belajar mereka di Kota Pekalongan. Event kecil tersebut telah membuka babak baru ketakutan gue dengan dunia baru di mana kelak gue harus membangun keluarga. Ketakutan pertama: mendidik anak. Memang mengenai hal ini perlu belajar dalam waktu yang tidak singkat, tapi seperti yang gue bilang tadi, gue takut, ketakutan ini terjadi mulai ketika gue mencoba akrab dengan anak bontotnya si Bos.

            Bos gue punya tiga anak. Anak pertama cewek, anak kedua dan ketiga cowok. Gue cukup akrab dengan anak ketiga yang baru bisa berjalan tapi belum lancar berbicara. Doi suka banget ngusilin gue kalau sedang bekerja, mulai dari menendang resi-resi pengiriman yang baru saja gue tata rapi, menabrak tatanan barang yang baru saja diselesaikan, dan yang paling bikin gue kesal adalah ketika doi mukul-mukul tubuh gue. Gue tidak bisa sepenuhnya menyalahkan, sesekali gue ladeni doi sebagai wujud healing di tengah jenuhnya bekerja, namun jika mood gue sedang tidak baik, biasanya gue tidak akan meladeni dan justru marah-marah di dalam hati. Inilah ketakutan yang tadi gue sebutkan, gue takut akan kesulitan mengendalikan diri ketika ada anak seperti ini (baca: kalau gue punya anak).

            Ketakutan kedua muncul dari suasana ekonomi dan sosial budaya di lingkungan gue. Ini yang paling rumit menurut gue. Sampai sejauh ini gue sendir belum menemukan passion untuk dikembangkan agar menunjang perekonomian gue (buset). Ketika gue meminta solusi pada orang terdekat, misal saja Dany, sohib gue, jawabannya akan selalu sama...

            “Gue tuh males kalo harus usaha di bidang perbatikan, gue pengin yang lain,” kata gue sok idealis.

            “Gue juga sama, tapi gimana ya… Itu udah membudaya banget, njir. Kalau nggak mau perbatikan ya kita harus ke luar kota.”

            “Tapi…”

            Lalu bersamaan kami berucap: “Dari mana modalnya?”

            Maka, pernikahan adalah suatu konsep yang rumit bagi pemikir seperti gue…

            “Gue setuju sih, Zim, sama lo. Pernikahan itu emang suatu konsep yang rumit buat orang pemikir.”

            “Benar kan? Ada banyak ketakutan yang ada di hati gue, coy. Makanya gue mikir gitu, tapi…”

            “Jangan bilang lo udah dituntut nikah sama cewek lo…”

            Gue senyum masam.

            Iya. Gue dua bulan belakangan baru saja jadian dengan seorang cewek (syukur gue masih normal karena masih mau sama cewek), doi seorang aktivis genre di Kota Pekalongan, dan lucunya bukan gue yang nembak doi, melainkan sebaliknya, yang lebih lucu lagi proses jatuh cintanya yang terbilang cukup aneh. Suatu hari gue mendebat doi di sebuah forum rapat kerja tentang rancangan program kerjanya, bisa dibilang doi cukup kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan gue, lalu, ya… Terjadilah PDKT oleh doi…

            “Iya, tiba-tiba banget dia nyeletuk soal nikah, Yat. Dia bilang gini, ‘Aku target nikah umur 23, kalo kamu berapa?’.”

            “Kalo lo jawab jujur, lo naif sih, Zim.” Dayat kembali mengunyah, kali ini bukan bakso, melainkan gelas yang seharusnya jadi wadah untuk minumnya. Pengandaiannya semakin aneh.

            “Bener, gue nggak jawab.”

            “Lalu?”

            Gue tidak meneruskan cerita. Hanya menghirup napas dalam-dalam lalu membuangnya dengan bersemangat. Bakso gue sampai muncrat.

            “Ya gitu deh…”

            Kami meneruskan sesi makan malam yang hening di tengah keramaian ini, gue dengan cerita tuntutan nikah yang terlalu dini, lalu dilanjutkan dengan Dayat dengan cerita mengenai masa lalunya (yang kelam).

            Hingga malam mulai dirasa menuju larut, kami beranjak dari warung tersebut, pulang ke kost-an Dayat, tentu saja untuk mengantarkan Dayat ke persemayamannya, dan terakhir tinggal gue yang pulang menuju rumah gue. Hening, tapi ramai. Sepi, tapi berisik. Semua ketakutan yang tadi gue bicarakan dengan Dayat seperti terus berdemo di kepala gue, minta persoalannya diselesaikan segera. Sayangnya gue sendiri tidak sanggup menangani persoalan tersebut. Gue kalah…

            Dan malam itu pula gue merebahkan diri dengan perasaan lega dicampuri dengan bingung dan linglung. Tapi, apa pun itu, setidaknya gue bersyukur untuk hari ini. Gue telah menyelesaikan acara pengkaderan ini dengan baik. Gue telah menyelesaikannya. Gue ulangi. Gue telah menyelesaikannya.

            Hingga sebuah notifikasi muncul

            Munir: “TUGAS ANTROPLOGI BESOK BAGAIMANA?” Terkirim. 19.40.

            Mampus….    

Komentar

Postingan Populer