Jessica dan Perayaan Mati Rasa, Bagian Pertama

 

           Masih ingatkah lo dengan Bidadari Keenam yang gue ceritakan di bab “Perayaan Bayangan”? Jika tidak, lo boleh buka dulu bab tersebut sebelum membaca bab ini. Oke gue lanjutkan, untuk mempermudah bercerita, gue akan berikan nama fiksi untuk si Bidadari keenam ini. Sebut saja dia sebagai Jessica. Dan sebelum masuk ke cerita ini untuk lebih jauh, gue akan perkenalkan dua tokoh penting di cerita ini: Alfia dan Vivi. Mereka adalah teman dekat Jessica. Mereka juga yang sering menerima keluh kesah gue tentang Jessica, hihihi.

            Oke gue mulai.

            Kisah ini bermuara pada hari Kamis minggu pertama perkuliahan dimulai. Jika gue tidak salah mungkin sekitar tanggal 24 Agustus 2023 M. Buset udah kayak sejarah aja pake dikasih M. Waktu itu gue baru saja mampir dari rumah Pakdhe gue di Karanganyar, Kajen, karena jeda mata kuliah Bahasa Indonesia Dasar menuju Sejarah Peradaban Islam cukup lama dan gue nggak tahu harus ngapain di kampus karena belum genap seminggu gue di sana, masih butuh adaptasi kata gue.

            Ketika gue masuk ke ruang 4.15, tempat Mata Kuliah Sejarah berlangsung, gue masih seorang yang suka sendirian meski gue satu kelas dengan Sohib gue di MA, yaitu Sandi. Entahlah, sendiri rasanya menyenangkan buat gue, sampai seseorang bilang ke gue, “Lo kok individualis banget ya?” Buset. Di sinilah semuanya dimulai. Sebuah suara memanggil gue dengan panggilan “Pak Ustaz” muncul dari belakang gue. Sesosok cewek berkacamata dengan suaranya yang menggetarkan jiwa. Gue menoleh ke belakang. Samar-samar dia terlihat seperti Nashwa Indonesian Idol. Iya… cewek itu adalah Jessica.

            “Pak Ustaddddddd...” suaranya terdengar legit di telinga gue yang rada budeg ini.

            “Maksudnya aku?” tanya gue mengonfirmasi.

            “Iyaaa, Pak Ustadddd. Senyum, Pak Ustad, aku poto yaa.”

            Cekret. Sebuah memori terekam. Sebuah kisah patah hati dimulai. Betapa semudah itu gue bisa jatuh hati pada seseorang. Sangat sulit menghentikan hati gue agar tidak terus jatuh cinta kepada orang dengan asal-asalan. Tetapi, gue meyakinkan diri, cewek ini kayaknya berbeda dengan cewek-cewek lain yang gue suka. Nggak tahu, pokoknya di benak gue, gue yakin aja.

            Maka, dimulailah perayaan mati rasa tersebut.

            Suatu hari gue iseng DM-an dengan IG kelas. Entahlah, ini sungguh keisengan yang tidak masuk di akal. Gue nanya hal-hal aneh ke IG kelas yang pemegang akunnya bukan cum Alfia doang. Stress. Lalu, sampailah pada pertanyaan iseng berikut:

            “Spill IG-nya Nashwa, Kak,” tanya gue dengan penuh kebodohan.

            “Nashwa siapa, Zim?” jawab IG kelas (kok jadi aneh gini?).

            Dari situ gue ketahuan. Cara main gue dalam urusan cinta memang bodoh dan penuh ke-gegabahan. Bukankah akun kelas tidak hanya dipegang satu orang? Dan bukankah Alfia adalah orang yang lumayan kompor (sorry, Fia, jangan marah dulu, ntar di segmen selanjutnya gue muji-muji lo kok).

            “Oh, gue tahu! Si Jessica, ya?”

            Kegilaan dimulai.

            Sontak pada hari Senin sesudahnya, sesaat sebelum Dosen PPKN memasuki kelas, Alfia ngevideoin gue yang lagi salting gara-gara DM waktu itu. Dan… Video tersebut diupload ke instastory. Gue dan Jessica kena Tag. Entahlah, gue nggak tahu seperti apa perasaan Jessica melilhat unggahan tersebut (kayaknya sih B AJA). Kalau gue sendiri sih salting-salting sambil sikap lilin di rooftop. Miris.

            Hari demi hari berlalu. Cinta kian tumbuh di hati gue, namun gue nggak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Mungkin karena efek kelamaan jadi single (baca: jomblo nggak laku). Tetapi perasaan cinta gue naik turun. Kadang gue juga sebal dengan ke-friendly-annya kepada para cowok di sekitarnya. Bukan hanya sekali gue lihat dia posting foto sama cowok. Dan bukan hanya sekali gue lihat dia asyik banget sama cowok lain ketimbang gue, eh bentar, gue siapa? Ngajak ngobrol aja nggak berani. Wkwk. Iya. Yang bisa gue lakukan hanyalah lirak-lirik dari meja depan ke arah belakang. Itulah alasana mengapa leher gue sering sakit.

            Satu-satunya yang gue lakukan hanyalah merengek. Tentu saja dengan bercerita pada Vivi dan Alfia. Mereka selalu saja mencoba mendamaikan pikiran gue, menyuruh gue sabar, kadang juga memberi trik bagaimana cara pdkt sama doi.

            Tidak hanya sekadar ngasih trik dan mendamaikan, mereka bahkan seakan benar-benar menjodohkan gue dengan Jessica. Dan niat banget. Suatu hari kelas kosong karena dosen sedang ke luar kota, dan kebetulan hanya ada satu mata kuliah dosen tersebut pada hari tersebut. Lalu muncullah ide untuk nobi (bahasa gaul untuk nonton bioskop, gini-gini gue juga tahu gaul-gaulan) bersama. Alfia ngajakin gue, dia menempatkan gue di kursi yang berdekatan dengan kursi Jessica, damn, gue membayangkan Jessica yang ketakutan menonton film horor lalu memeluk gue erat. Tapi, nggak, jangan! Please jangan! Stay cool aja, batin gue.

                    Dan benar saja. Jessica benar-benar duduk di kursi sebelah gue. Dalam hati gue salting, gue pengin salto sambil teriak, tapi gue sadar gue sedang di bioskop, jadi gue diam saja. Stay cool. Sepanjang film kami sesekali mengobrol, tentu saja mengobrolkan filmnya, kalau ngobrolin bisnis ngapain di bioskop yang sedang memutar film? Aneh.

                    That was a really funny day for me. Untill....

             Rabu, 27  September 2023.

            Seperti yang gue bilang di atas tadi, Jessica adalah sosok cewek yang friendly. Disebabkan gue yang sudah tidak kuat melihat ke-friendly-annya kepada para cowok, gue pun nekat nembak dia duluan biar nggak keduluan sama cowok-cowok kampret tersebut. Lo bisa baca ini di bab “Perayaan Bayangan”. Itu adalah pertama kali gue nembak cewek via live action, secara langsung, dan ditolak langsung. Namun, pada awalnya gue tidak menganggap itu sebagai penolakan. Gue mencoba berpikir positif, “Mungkin dia memang nggak mau pacaran karena takut nanti putus, ntar jadi asing.” Hal tersebut senada dengan ucapan Jessica setelahnya.

            “Aku nggak mau kita jadi asing.”

            Ada yang belum sempat gue ceritakan di bab Perayaan Bayangan, yaitu permintaan maaf Jessica. Setelah prosesi penembakan, Jessica mendapati ekspresi gue yang penuh ketidakterimaan dan kekecewaan. Begitupun Alfia, Vivi, dan yang lain yang juga berada di lokasi yang sama.

            “Lo abis nangis?” tanya Alfia sesaat setelah gue berdiri dari tempat gue dan Jessica mengobrol, yaitu di tebing bawah kantin.

            “Enggak, siapa yang nangis??” bantah gue dengan kondisi wajah yang kontradiktif dengan pernyataan gue.

            Sepulang dari kampus, gue nggak berangkat kerja seperti biasanya, badan gue meriyang. Jessica tiba-tiba muncul di notifikasi WhatsApp gue.

            “Udah nyampe rumah? Berangkat ngga?” tanyanya.

            “Udah, tapi aku meriyang, nggak berangkat kerja,” jawab gue.

            “Tuh, kan, bener… Gara-gara aku ya pasti? Minta maaf yaa, Azim.”

            “Nggak kok, tadi dari rumah emang udah mriyang,” sanggah gue. Faktanya gue memang sudah mengalami gejala mriyang sejak paginya, ditambah dengan kejadian ini, rasanya gejala mriyang jadi semakin nikmat.

            Ini adalah salah satu alasan yang akhirnya gue temukan, alasan kenapa gue jatuh cinta sama doi: doi punya apology language yang lumayan bagus. Jessica tidak hanya minta maaf lewat WhatsApp, keesokan harinya dia bawain gue makanan. Sebagai tanda permintaan maaf katanya.

            “Dimakan, ya. Ini sebagai permintaan maafku,” ucapnya sambil memberikan sebuah bingkisan berisi sekotak nugget dan susu kotak.

            “Iya, makasih,” jawab gue sambil batuk-batuk.

            Lalu? Yang terjadi?

            Iya… Gue coba.

Gue coba menyembunyikan perasaan gue ketika di depan banyak orang. Mencoba jadi teman yang baik untuknya. Hampir berhasil… Namun, tatapannya selalu buat mata gue tenggelam, dan di titik tersebut gue menyadari sesuatu: ini adalah kepalsuan, dan gue benci kepalsuan, gue lebih suka dengan keterus-terangan. Perasaan gue kemudian  turun. Gue mencoba menjauh dari dirinya. Tapi seringkali percobaan tersebut gagal. Tidak terhitung berapa kali gue ngadu ke Vivi dan Alfia tentang perasaan gue yang naik-turun terus seperti ini.

            “Ya udah kalo mau berhenti, berhenti aja, daripada capek,” ujar Vivi mengafirmasi percobaan pengunduran diri gue.

            “Ya kalo lo emang mau sama dia, perjuangin lah!” kontra dengan pernyataan Vivi, Alfia meyakinkan gue untuk terus maju. Sambil disabar-sabarin dikit.

            Perasaan tidak bisa dibohongi.

            Layaknya iklan kecap bango yang berslogan “karena rasa tak pernah bohong”, perasaan gue kepada Jessica “tak bisa dibohongi”. Gue tahu ini analogi yang terlalu absurd dan sulit dimengerti, tapi biarlah. Perasaan tetaplah perasaan. Hati tetaplah hati, bukan besi.

            Suatu ketika gue dan Jessica mengobrol bersama, sebut saja sedang melakukan deeptalk. Masih di tempat yang sama seperti tanggal 27 September silam, di Tebing Bawah Kantin. Pembicaraan kami awalnya sederhana, mulai dari UTS yang baru saja selesai, bagaimana soal-soalnya, bisakah masing-masing dari kami menjawabnya? Kesulitankah atau tidak? Sampai ke pembicaraan yang benar-benar deep. Inilah mengapa gue menyebutnya sebagai deeptalk. Karena kami sedang talk, dan pembicaraannya deep.

            “Kamu udah bisa ‘biasa aja’ ke aku belum?” tanya Jessica buat gue bingung.

            “Maksudnya gimana, Jes?” gue bertanya balik. Di satu sisi gue bego, di sisi lain pertanyaannya memang agak sulit dipahami.

            “Maksudnya kamu udah bisa bersikap biasa aja ke aku belum?” jelasnya kemudian.

            Gue diam… Berpikir sejenak sampai urat-urat di kepala gue terlihat membentuk sebuah tulisan. “Boleh call friend nggak?” kira-kira seperti itu tulisannya, karena pertanyan Jessica sangat sulit untuk dijawab, gue nyerah, boleh call friend nggak? Wkwk. (Call friend adalah istilah yang digunakan dalam gameshow ketika peserta tidak bisa menjawab pertanyaan, lalu si peserta meminta jawaban dari teman satu grupnya).

            “Tuh, kan, cuma diem… jangan diem dong,” kesalnya. Saat sedang kesal, muka Jessica bertambah manis, mungkin kadar gulanya naik menuju tingkat berbahaya: berbahaya karena bisa menimbulkan jatuh cinta. Oke, gue udah mulai ngarang.

            “Oke… Aku jawab ya…,” berani gue, “…nggak bisa.”

            “Kok nggak bisa?” Jessica terlihat semakin kesal, namun sejurus matanya menampakkan sedikit kebingungan.

            “Ya, nggak bisa. Aku mau tetap gini,” jawab gue mantap.

            “Ihh, tapi kan kamu tahu aku tuh gini. Masa kamu mau terus gitu? Kamu nggak capek?” Jessica mempertanyakan jawaban nekat gue.

            “Kamu gini gimana maksudnya, Jes?” gue justru memutarbalikkan pertanyaan Jessica.

            “Aku tuh ga bersyukur… Disukai kamu tapi gini, aku tuh bangsat! Aku bangsat! Ih gatau!”

            Gue diam lagi. Kemudian Jessica melanjutkan kalimatnya.

            “Kamu masih mau tetap gini?”

            “Iya, Jes, aku masih mau cinta kamu,” jawab gue dengan muka sok maskulin, padahal di dalam hati gue sendiri salting. Dan gue yakin dengan tampang maskulin gini bisa bikin Jessica luluh dan tiba-tiba berbalik menerima cinta gue. Namun, yang terjadi justru di luar dugaan gue. Jessica menangis tersedu-sedu setelah gue mengucapkan kalimat terakhir barusan. Gue semakin bingung dan ujungnya diam lagi.

Anggap saja ini ilustrasi gue ngobrol sama Jessica

            Terhitung sekitar tiga sampai lima menitan Jessica menangis sambil mengulangi kalimat yang sama, “Aku jahat sama kamu! Aku bangsat! Aku nggak bersyukur! Dan semacamnya. Terus terang, gue sangat ingin merangkulnya dan melakukan ritual puk-puk, tapi gue sendiri nggak tahu kenapa gue cuma diam. Gue benar-benar diam dan hanya bisa mengulang-ulang kata, “Nggak, nggak apa-apa.”

            Pertemuan hari itu menghasilkan sebuah keputusan: Gue akan tetap nekat mencintai Jessica meski perih rasanya. Sedangkan keputusan dari pihak Jessica, gue harus stay low profile, gue harus kelihatan seperti teman biasa ketika berada di dekatnya, setidaknya itu yang gue tangkap meski ia tidak mengatakannya secara terang-terangan.

            Bersambung ke bagian kedua…

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer