Panduan Mempersiapkan Pernikahan
Akhir Desember
2024. Menuju awal tahun yang penuh harap dan cita-cita. Pun dihinggapi berjuta
rasa cinta. Rasa cinta ini saking besarnya sampai membawa sebuah tanya pada
Bunda yang termenung di halaman rumah. Tanya yang tak diharap hadir dari teman
sejawat anak pertama Bunda. Sebut saja namanya Ndofar, teman abang gue main
sepak takraw di masa lampau. Suatu hari ia datang ke rumah membawa tanya yang
kalau kita mendengarnya kita akan refleks berkata, “Gak bahaya ta?” Berikut
pertanyaannya:
“Bu, Hasan itu
sudah umurnya menikah, kok belum menikah memangnya njenengan melarang
ya?” tanya Ndofar pada Ibunda.
Ibunda terhenyak
mendengar pertanyaan tersebut, bahkan jauh di lubuk hatinya beliau menangis.
Sambil mencoba tenang beliau menjawab, “Saya tidak melarang anak saya menikah,
kok.”
Mereka kemudian
melanjutkan obrolan mengenai banyak hal sampai akhirnya Ndofar kembali ke
kediamannya. Pun kemudian Hasan pulang. Disambut tangis Ibunda yang langsung
mewartakan kejadian yang baru saja beliau alami.
“Lha memangnya
Ibu ngebolehin aku nikah?” tanya Hasan menanggapi, tentu saja ini berdasarkan
penceritaan Bunda pada gue yang telah Bunda dan gue parafrase redaksinya.
“Ibu nggak
ngelarang kamu, kalau kamu memang siap, monggo…”
Masing-masing
keluarga calon mempelai berkumpul, rapat mendadak membahas rencana pernikahan
Hasan dan Nana. Sepasang sejoli yang telah menjalin asmara kurang lebih dua
tahunan. Pun dengan kepulangan gue ke rumah yang kemudian mengetahui cerita ini
dari Bunda. Gue speechless, hanya bisa diam tak memberi reaksi apa pun
kecuali menggerak-gerakkan kedua alis gue.
Minggu, 29
Desember 2024. Gue nggak kuliah, biasanya sih kerja berangkat shift siang
sampai malam, namun karena hari ini ada agenda foto studio bersama teman-teman
Trainer PAC IPNU & IPPNU Kecamatan Buaran angkatan keempat, maka gue
bertukar shift dengan karyawan lain. Gue berangkat pagi, pulang sekitar pukul
dua siang.
Ketika pulang, ada
sepasang sandal yang tidak gue kenali. Sandal wanita tampaknya. Gue langsung
tertuju pada isu yang sedang naik beberapa hari terakhir: rencana pernikahan
abang gue. Dan benar saja, ketika sepeda motor gue berhenti di teras rumah, gue
mendapati sesosok wanita berumur kurang lebih 27 tahunan sedang duduk di ruang tamu
bersama Bunda dan Abang. Mereka tengah berbincang-bincang santai. Dolan
kalau bahasa orang Buaran dan sekitarnya.
“Assalamualaikum…”
gue memotong pembicaraan santai mereka.
“Waalaikumussalam,”
jawab mereka bertiga kompak, disusul dengan celetukan Bunda, “Salim dulu sama Mbakyu-mu.”
Tanpa pikir
panjang dan bantahan argumentatif nan ilmiah, gue melakukan perintah tersebut.
Terbesit sebuah pernyataan dalam hati, “Oh, ini calon istri Abang.”
Gue tidak
berlama-lama berada di ruang tamu—bergegas mandi lalu berangkat menuju studio
untuk berfoto. Sekelebat terdengar mereka merencanakan rangkaian acara
pernikahan yang kurang lebih memakan waktu enam bulan, mulai dari minggu depan
yaitu prosesi awal bernama Ndhodhok. Ndodhok secara bahasa berarti
mengetuk pintu, secara istilah berarti mengetuk pintu calon besan—tujuannya
silaturahmi dan memperkenalkan anggota keluarga masing-masing mempelai.
Dan itu pun
terjadi. Jum’at, 3 Januari 2025. Rombongan keluarga kami terdiri dari Ayah,
Bunda, Paman (dari ayah), beserta istrinya, dan gue. Abang tidak diikutkan
dalam prosesi ini, gue kurang tahu kenapa alasannya, lupa bertanya. Sebelum
prosesi ndhodhok dimulai dengan rombongan memberangkatkan diri ke rumah calon
besan, gue iseng bertanya pada Bunda seputar hal ihwal pernikahan.
“Ma, memangnya
menikah itu butuh duit berapa?” tanya gue.
“Paling murah dan
lumrahnya sih, 50 juta, Le,” jawab Bunda.
“BUSET. Mahal ya…”
“Yaaa… itu sih
kalau mampu, kalau tidak ya sebisanya,” jawab Bunda lagi.
“Makanya nabung,”
sambung Abang.
“Mending nggak
usah nikah, mahal dan ribet,” gerutu gue dalam hati.
Sesi pun usai
dengan begitu singkatnya, dan gue kembali menarik kesimpulan bahwa menikah itu
ribet, susah, dan berbagai pemaknaan kurang menyenangkan lainnya—sama dengan
penilaian gue sebelumnya. Ya, bayangkan saja, kita harus hidup bersama dengan
seseorang yang sama dengan jangka waktu yang lama, apa esensinya? Begitu pikir
gue. Belum lagi tekanan besar dari kedua belah pihak orang tua dan masyarakat
sekitar yang massif, sebut saja pertanyaan-pertanyaan menyebalkan seperti,
“Kapan menikah?” Lalu, setelah pernikahan terlaksana pertanyaannya jadi
berubah, “Kapan punya anak?/Kapan hasil?”, ketika sudah hasil pertanyaannya
berubah lagi, “Kapan nambah?” Screw it! What a fucking society! Ini yang
selalu gue tidak sukai di lingkungan masyarakat yang serba “aneh” ini. Dan
lagi, ke depan harga tanah untuk membangun rumah tentu akan semakin mahal, pun
juga dengan biaya pendidikan yang tak semurah dahulu kala. Gue bahkan pernah
iseng sambil melamun menghitung rincian biaya pendidikan kalau seandainya gue
memiliki seorang anak. Rinciannya adalah pendidikan dari SD hingga lulus S1,
dari hitungan random itu saja gue menemukan angka 80 juta sebagai minimal biaya
pendidikan satu anak sampai lulus S1. Bagaimana jika lebih? Damn it.
Prosesi ndhodhok
pun dimulai. Kami sampai di sebuah rumah dengan arsitektur khas Jawa kuno semi
Belanda. Bagian halam rumah berisikan bebatuan yang berukuran kecil hingga
sedang—khas orang lawas, mirip seperti rumah Alm. Pakdhe Tolani di Kertijayan
Gang 5 dulu. Beranjak dari sepeda motor yang baru saja diparkir, sesosok pria
paruh baya berkacamata kotak menyambut kami di pintu depan. Pak Junaid namanya.
Menyambut kami dilakukannya…
“Selamat datang,
silakan masuk.”
Begitu kaki gue
melangkah masuk ke dalam ruang tamu rumah ini, gue langsung merasakan hawa-hawa
seni nan akademisi. Agak aneh untuk disebutkan memang. Di seberang pintu ada
sebuah lemari berukuran kecil, tinggi sekitar anak SMP, wah, aneh juga
deskripsi tingginya. Lemari ini berisi buku-buku—tanda bahwa penghuni rumah ini
adalah penggemar baca. Lalu di sebelah kiri dari pintu, ada sebuah lukisan yang
konsepnya seperti baju yang dibuat menggunakan kain perca, gue menyebutnya
lukisan perca, ah entahlah aneh juga. Di tengah, tepat di depan gue ketika gue
duduk di kursi ada foto keluarga yang berisikan foto Pak Junaid, Istrinya, Mbak
Nana, dan juga saudara-saudaranya. Mereka mengenakan busana couple dalam
foto keluarga tersebut. Ah, too perfect to describe! Lamunan gue
terbangun ketika Ayahanda membuka sesi Ndhodhok ini.
“Permisi, Pak
Junaid, kedatangan kami ke mari hendak silaturahmi. Nepung seduluran. Saya
Sani, di sebelah saya ada adek saya, sebelahnya ada anak saya yang bontot,
Azim, dan yang di sebelah ujung kiri, istrinya adek saya, lalu yang di sebelah
Istrinya Pak Junaid, itu istri saya.”
Setelah kedua
belah pihak calon besan ini berkenalan, Mbak Nana dipanggil untuk menemui kami.
Obrolan-obrolan berisi basa-basi kembali dilanjutkan. Gue kurang tertarik
dengan apa yang mereka obrolkan, perhatian gue masih terfokus pada karya seni
yang dipajang di ruang tamu ini, pun gue kembali menemui lukisan perca lagi,
kali ini berbahan gelas kaca. Warnanya terang dan mencolok di mata. Hingga pada
menit kesekian obrolan mereka, ada pertanyaan yang mengaburkan fokus gue
memandangi ruangan penuh seni ini.
“Adek namanya
siapa tadi?” Pak Junaid mengarahkan tanya pada gue yang masih melamun.
“Azimatus Sya’bana,
Pak,” jawab gue gugup.
“Masih kuliah?”
“Iya, bulan Februari
nanti masuk semester empat.”
“Bagus, bagus…
Yang penting kuliah itu harus semangat!” Pak Junaid kemudian menceritakan
pengalaman masa mudanya sebagai sosok yang idealis dan kritis. Beliau juga
menyarankan agar gue mendirikan semacam grup diskusi di lingkungan kampus—tentu
saja gue bisa menjawab ini dengan sangat percaya diri.
“Oh, kalau grup
diskusi saya kebetulan punya, Pak. Di sana isinya orang-orang hebat, ada ketua
UKM, ada ketua Himpunan Mahasiswa, ada Mahasiswa Wirausaha, dan lain-lain,”
jawab gue dengan pede, sok pede lebih tepatnya.
“Bagus, lanjutkan!
Mahasiswa itu harus kritis dan idealis…” Pak Junaidi kembali melanjutkan
ceritanya. Kali ini gue mulai tertarik dengan obrolan dalam Ndhodhok
ini, pandangan dan perhatian gue yang tadi teralihkan ke karya seni sekarang
beralih ke Pak Junaid dengan kisah masa mudanya yang melegenda.
Tidak terasa.
Semua kisah Pak Junaid ini telah menghanyutkan gue dalam acara ini, hidangan
makanan berupa buah sawo, gorengan, dan teh manis hangat juga tak terasa telah
di tangan—seolah tak disadari namun terjadi. Begitu terus sampai acara malam
hari ini usai. Pada malam itu gue punya harapan baru: gue pengin jadi seperti
Pak Junaidi, muda berkelana, tua bercerita. Minimal gue bisa dekat dengan
beliau nantinya… Tapi untuk hari ini kita cukupkan. Sesi berikut menunggu satu
bulan kata Bunda.
“Habis ndhodhok ini
selanjutnya prosesi apa lagi, Ma?” tanya gue.
“Selanjutnya ada
tukar cincin, itu masih bulan depan, kira-kira pertengahan Februari.”
“Ohhhh begitu,
kayak yang rame-rame bawa keluarga besar itu ya?”
“Betul.”
Komentar
Posting Komentar