Kuliah

Nyokap udah dua hari belakangan ini sakit. Meriyang gitu lah. Sepulang sekolah, gue disuruh memijat kakinya yang katanya rasanya pegel melulu. Baru saja gue membuka pintu rumah dan mengucap salam, Nyokap langsung menohok dengan berkata, "Pijitin kaki Mamah."
"Mah, salamku kan belum dijawab."
"Waalaikumussalam. Buruan pijitin, pegel nih." katanya.

Gue memutuskan untuk masuk ke kamar gue untuk ganti baju. Nyokap pun langsung gue pijat kaki-kakinya. 
"Itu kaki kamu kenapa? Kok luka-luka gitu? Kamu tabrakan ya?" Nyokap melihat ke arah kaki gue dan mendapati luka lecet karena bermain futsal hari Ahad kemarin.
"Ohh, ini bekas abis main futsal kemarin. Biasa lah, Mah. Anak cowok." aku gue, memilih untuk jujur daripada gue harus mengemasi barang-barang lalu mencari kost-kostan terdekat.
"Oh, gitu. Makanya lain kali hati-hati."

Tidak lama kemudian, Bokap pulang dari bekerja. Kumisnya yang tipis-tipis terlihat mulai layu, Bokap langsung meraih sebuah handuk lalu bergegas menuju kamar mandi untuk tanam saham, ya udah jelas mau mandi lah!
"Pa, lihat nih, kaki anakmu ancur!" Nyokap langsung melaporkan kejadian yang baru saja ia lihat.
"Mana? Sini coba lihat." sahut Bokap.
"Ini nih, Pa." Gue menunjuk ke arah bagian kaki yang lecet.
"Nggak apa-apa ini. Anak cowok. Udah, Bapak mau mandi dulu." kata Bokap, ringan. Juga sepemikiran dengan gue. Yes!!! Gue nggak jadi nyari kost-an terdekat.
"Masih sekolah, wajar lah mah kalo main futsal. Kalo udah kerja, baru nanti mainnya saham. Hahaha." Gue mencoba melawak. Namun, terdengar garing. Lelucon gue lebih mirip jokes bapak-bapak di Facebook yang hobi pasang foto profil dengan foto selfie dan kumis yang tebal. Sesekali terlihat perut mereka yang buncit. Nah, loh, perut gue jadi ikutan buncit, nih.
Nyokap yang sedang terbaring tiba-tiba bangun, lalu berubah menjadi Hulk.
"KAMU JANGAN KERJA!!! KAMU HARUS KULIAH!!" serunya sambil membanting-banting badan gue. Oke, kayaknya gue perlu dipanggilin ambulans: ngarangnya kejauhan.
"Iya, deh, Ma. Iyaa. Kuliah pun kuliah lah." gue pasrah.
"Emangnya kalo kuliah kamu mau kuliah jurusan apa?" Nyokap bertanya lagi. 
"Sastra deh, Ma." 
"Sastra itu bukannya dealer sepeda motor ya?"
Hening.
"Sastra itu kayak mempelajari bahasa gitu deh, Ma. Ya, kayak yang aku lagi suka belakangan ini juga termasuk sastra. Nulis nulis gitu."
"Ohhh ituu."

Gue menyukai sastra bukan tanpa sebab. Dahulu kala, di masa praaksara, gue termasuk orang Indonesia yang nilai bahasa Indonesianya jarang di atas 90. Tentu itu sangat memprihatinkan. Namun, semenjak ditubruk sebuah meteorit berisi peledak chitauri, STOP!
Namun, semenjak gue masuk MA, dan gue ikut organisasi jurnalistik, nilai bahasa Indonesia gue masih utuh, sih. Lah?
Bukan itu. Semenjak gue masuk organisasi jurnalistik, gue jadi tertarik dengan hal-hal yang bagi gue dulu sangat membosankan. Seperti membaca, menulis, dan mengamati tulisan. Lah, bedanya membaca dan mengamati tulisan apaan?

Gue jadi mulai menyukai puisi, lalu musik-musik indie folk menjadi konsumsi gue sehari-hari. Fourtwnty adalah band indie folk pertama yang gue nikmati lagu-lagunya. Lalu, semenjak mendengarkan musik-musik indie folk yang liriknya puitis, gue jadi tertarik untuk menulis puisi sendiri. Lalu, hadirlah gue yang puitis. Widihh. Keren... Gue bisa humoris dan puitis di saat bersamaan!

 Hari mulai berlalu, senja juga mengikuti. Malam datang, senja hilang. Gue bergegas pergi ke musholla untuk salat magrib. Sepulangnya, abang gue yang baru pulang dari melatih sepak takraw, sudah berada di dapur dan menenggak segalon air. Sekarang badannya terlihat mirip dengan galon air tersebut.
"Katanya si Azim pengin kuliah sastra
"Berarti masuk Unnes dong." jawab Abang.
"Unnes? Benda apaan tuh Unnes?" gue pura-pura bego, padahal emang bego. Jadi siapa sebenarnya yang pura-pura?
"Universitas Negeri Semarang, di sana ada tuh jurusan sastra." tambahnya.
"Oh." mulut gue menganga.
Bokap yang juga baru pulang dari musholla baru mendengar kabar bahwa gue pengin masuk ke jurusan sastra.
"Kenapa nggak ke Kairo aja?" tanya Bokap, jauh dari topik.
"Ngapain ke Kairo, Pa? Kan ini lagi bahas kuliah?" tanya gue penasaran dengan maksud Bokap.
"Biasanya lulusan MA Simbangkulon kan ada kuota buat masuk ke Universitas Al-Azhar Kairo." Bokap langsung menjawab semua pertanyaan-pertanyaan di kepala gue yang sejujurnya tidak mengarah ke sana. Gue lebih memikirkan mungkin yang Bokap maksud gue harus ke Kairo adalah untuk mencari pecahan All-Sparks peninggalan para Prime terdahulu, OKE STOP! Itu film Transformer udah lama banget, jangan dibahas!

"Kalo aku di Kairo, mau beli nasi gimana caranya, Pa?" tanya gue, absurd. Mungkin di pikiran Bokap juga sama, gue absurd. Pertanyaan pertama yang muncul dari mulut gue ketika mendengar Kairo justru 'Gimana cara beli nasi'. Nggak berbobot banget.
"Di Kairo itu banyak juga kok jurusannya." pungkas Bokap, mulai kesal mengobrol dengan gue.
Kalau sudah begini, Nyokap hanya bisa tertawa sambil berbaring. Sesekali keluar nos dari tubuhnya, lalu ia terbang ke angkasa.
Abang gue menjawab, "Pake isyarat lah! Hu ha hu ha hu (sambil memeragakan orang sedang membeli nasi)."
"Bisa dikira bisu kalo gitu mah. Mahasiswa absurd." kata gue.
"Ya nanti bakalan ada latihannya dulu lah, Nak!" Nyokap masuk ke percakapan karena mulai tak tahan dengan omongan gue yang sangat ngelantur.
 "Dulu waktu Mama kerja di Arab Saudi juga gitu. Ada latihannya dulu beberapa minggu." tambah Nyokap, memperkuat argumennya.

Gue hanya diam dan meresapi kata-kata Nyokap barusan. Di satu sisi, gue sepertinya tertarik untuk kuliah di luar negeri. Atau mentok-mentoknya di luar kota. Gue pengin punya pengalaman baru, yang tentunya nggak melulu di kota kelahiran gue, Pekalongan ini.
Kelas 11 SMA memang terlalu cepat untuk memikirkan kuliah, tapi bukan berarti kita nggak boleh punya rencana dan persiapan bukan?

Komentar

Postingan Populer