Aku Berharap Ini Tak Terjadi Kepadamu

 

            Pukul setengah dua belas malam. Biasanya jam segini gue sedang scrolling media sosial, entah itu Tiktok atau Instagram, atau sekadar geser-geser story WhatsApp orang-orang di kontak gue. Namun, kali ini ada kegiatan yang agak di luar kebiasaan gue: jeprat-jepret musolla se-Kertijayan. Terdengar aneh, kurang kerjaan, dan “hey, buat apa sih?” Tapi ini adalah bagian dari tugas akhir mata kuliah Peta Dakwah yang jujur gue selama satu semester nggak ngerti apa-apa.

            “Ini udah terakhir belum, Zim?” tanya Dayat yang menemani gue dalam proyek absurd ini.

            “Udah, sekarang kita ke minimarket kayak lo bilang tadi. Yang musolla di bawah tower skip aja, rame orang…”

            Sesi susur musolla dan pemotretan usai. Ada dua puluh satu musolla yang terdata dan masih kurang satu karena kami terlalu malu untuk bilang permisi. Sekarang tinggal belanja kecil-kecilan di minimarket lalu makan bersama dan bercerita. Oh, ya, beberapa saat sebelumnya ada Revo yang juga ikut nugas di rumah gue—tugas Studi Kebijakan Dakwah dan Statistika Sosial. Revo juga memberikan tutor pada gue dan Dayat pada mata kuliah Statistika Sosial. Selesai dengan itu semua, ia pulang. Arigatou, Sensei.



            “Yah, sayang banget ya Revo nggak ikutan nginep,” kata gue.

            “Ya udah sih…”

            Kami duduk di teras rumah gue usai menyeduh mie instan cup yang kami beli dari minimarket beberapa saat sebelumnya. Gue beli Indomie Tori Miso sedangkan Dayat Pop Mie Pedes Gledek Jontor atau apalah namanya yang jelas itu pedas, lebih pedas dari kritik, akh itu dia!

            Dari sini tanpa direncana kami mengeluarkan semua keluhan kami tentang keadaan di saat ini: persoalan kuliah, rumah, organisasi, bahkan cinta. Dayat dengan ketidakpercayaandirinya atas peran yang ia emban saat ini, yaitu Ketua Umum HMPS, sedangkan gue masih dengan pencarian jati diri dan, yes, klise sekali, pencarian seorang teman hidup untuk diri.

            Tidak jarang juga kami mengingat kembali masa-masa indah di awal-awal perkuliahan—mulai masuk kuliah hingga dibentuknya grup diskusi yang kini kian sepi karena urusan sendiri-sendiri.

            “Gue kangen masa-masa semester dua di mana kita ngumpul bersama, diskusi sampe magrib di perpus…” mata Dayat kosong, namun tangannya tertuju pada sumpit yang ia pegang untuk menyantap mie.

            “Gue juga, Yat. Itu adalah masa-masa keemasan yang sekarang susah diulang. Kita semua udah punya tempat sendiri-sendiri.”

            “Waktu itu jadi titik balik di mana gue berhasil nurunin ego gue. Gue jadi tahu bahwa di dunia ini ada banyak orang yang lebih pinter dari gue.”

            Dayat sedikit menceritakan kisahnya sebelum bertemu gue dan kawan-kawan di grup diskusi “Nanti Kita Cerita Tentang 14 Juni”. Kurang lebih gue tangkap kesimpulannya adalah dia seorang yang cukup narsistik di kelas—dia suka membunuh mahasiswa dan mahasiswi yang sedang presentasi dengan pertanyaan-pertanyaannya. Namun ketika bertemu dengan gue dan kawan-kawan lain, hal itu berangsur menurun intensitasnya. Bukan dalam artian buruk, ia jadi hanya lebih mawas diri.

            “Sekarang udah pada sibuk sendiri… Ali jadi ketua ukm studi gender, gue, lo, sama Desi di HMPS, Yaya dan Lutfi dengan program pengabdian mereka, dan lain-lain… Revo dengan kerjaannya, dan lo…”

            “Kuliah, kerja, HMPS, IPNU. Hahaha… Masih napas aja gue bersyukur,” jawab gue sinis.

            Perbincangan beralih tentang keresahan gue yang belakangan ini merasa sering sendirian di kampus. Itu semua dimulai di hari Selasa, 06 Mei 2025 kemarin. Waktu itu gue baru saja keluar dari kelas Jurnalistik Radio & TV sekitar pukul 09.30, tapi untuk pertama kalinya gue nggak punya tujuan. Biasanya gue akan ke perpustakaan untuk sekadar duduk-duduk di café baca, atau pergi ke lantai dua perpustakaan untuk membaca buku, tapi kali ini tidak, gue benar-benar tidak punya tujuan. Gue hanya duduk selama dua jam di parkiran FUAD bagian selatan. Duduk menghadap ke gedung Student Center sambil melamun merenungi secara mendalam tentang perubahan yang terjadi di semester ini.

            “Ini serius gue balik jadi penyendiri kayak awal semester satu?” gumam gue lirih dalam sesi duduk dan melamun itu—lalu ini gue ceritakan ke Dayat.

            “Lo geger kesepian-kesepian gini pasti abis ditolak cewek lagi ya?” Dayat memotong cerita gue dengan pertanyaan yang menohok.

            “Enggak, Yat.”

            “Ngaku aja lo, kapan terakhir kali nembak cewek?” tangan Dayat menunjuk ke gue dengan sumpit kematiannya.

            “Bulan kemarin.”

            “Nah, kan… Lo tuh gitu sukanya. Udah berapa kali berarti ini? Sepuluh kali? Sebelas? Mau sampai kapan, Zim?”

            Gue diam. Sesekali bergeleng kecil dan tersenyum tipis, sinis, seperti menertawakan diri sendiri yang terjebak dalam kubangan yang sama setiap waktunya.

            “Kalau gue bilang sama cewek yang gue dekati saat ini bahwa gue akan stop jadi orang yang gonta-ganti kayak gini, apakah akan worth it, Yat? Menurut gue enggak.” gue bertanya, namun gue jawab sendiri, dilanjutkan dengan monolog panjang, “Gue sendiri capek terus-terusan gini, ya gue penginnya stay di satu orang terus berkembang bareng, tapi kan lo tahu sendiri selalu endingnya gimana? Ditolak lah, dibohongin lah, persetan itu semua! Gue udah bertekad padahal, Yat, ini adalah terakhir kalinya gue mau suka sama seseorang dan gue mau jadikan dia sebagai tujuan jangka panjang, tapi… orang ini kayaknya nggak yakin sama gue karena track record playboy gue.”

            Dayat menyela monolog gue.

            “Ya iyalah, track record lo itu catatan panjang yang buruk. Itu ngrusak reputasi lo. Dulu aja pernah ada temen cewek yang nanya ke gue, ‘Kenapa sih Azim doyan gonta-ganti cewek?’. Itu bukti bahwa catatan lo udah diketahui orang-orang, dan efeknya buruk!” omongan Dayat mulai terasa pedas, barangkali efek dari mie instan yang ia konsumsi.

            “Gue bukan doyan ganti, tapi terpaksa pindah. Gue aja kalo bisa ngehapus semua catatan itu, pengen banget, Yat, gue hapus. Soalnya gue pengen berubah… Tapi dengan catatan yang udah terlanjur merah, gue mau berubah jadi terhalang, jadinya kayak malah nambah catatan lagi.”

            “Sekarang gue tanya, Zim. Kenapa lo harus punya cewek? Kenapa harus dapetin cewek?”

            Pertanyaan yang simpel, namun sukses membuat gue terdiam selama beberapa menit hanya untuk memikirkan jawabannya, dan gue sendiri sampai detik ini belum menemukan jawabannya. Tapi, untuk menjawab pertanyaan Dayat, gue ngelantur dengan jawaban asal-asalan.

            “Bukan harus dapet, tapi harus ada. Sekarang pertanyaannya ‘Kenapa harus ada cewek di dekat gue?’ Dan pertanyaan itu akan bisa gue jawab kayak gini, ‘Ada kepingan puzzle yang hilang di hidup gue dan hanya sesosok cewek yang pengertian (dalam hal ini tujuan gue adalah menjadikannya pasangan) bisa melengkapi kepingan tersebut.”

            “Dan apa berhasil? Lo selalu gagal… Kenapa kepingan puzzlenya harus dilengkapi oleh seorang cewek?”

            “Kalau cuma teman atau sahabat kayak kalian gue ngerasa nggak cukup, lihat aja sekarang, gue ke mana-mana harus sendiri lagi kayak semester satu, persis kayak yang gue cerita tadi. Gue sendirian, Yat, gue ulangi, gue sendirian.”

            Dayat diam. Sesekali kembali melanjutkan pergelutan sumpit dan mie instannya. Begitu pula dengan gue. Udara malam itu terasa dingin namun suasana diskusi gue dengan Dayat membuatnya tidak terasa begitu dingin. Sudah lama gue tidak merasakan kebersamaan yang menghangatkan seperti ini. Jujur, jika bisa, gue ingin kami semua dalam grup diskusi bisa terus bersama tanpa terpolarisasi seperti saat ini.

            “Ya… begitulah, Zim… Tapi, saran gue, lo berhenti deh main cewek-cewekan.”

            Nasihat yang sama untuk kesekian kalinya, pernah gue dengar juga dari Hillan, Haekal, Yaya, dan bahkan Ali. Semua mengatakan hal yang sama, namun Si Bangsat ini tak pernah berubah dari tabiat busuknya.

            Sekarang, bisakah ia menghapus semua noda merah dalam catatannya tersebut?

         

Komentar

Postingan Populer