Nahdlatul Azimmiyah (Membangun dan Menghancurkan)

 

            Di negeri ini pernah ada banyak sekali gerakan-gerakan kebangkitan, mulai dari Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Pedagang), Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Bangsa), Nahdlatul Ulama’ (Kebangkitan Ulama’), sampai juga berdirinya organisasi Boedi Oetomo yang hingga kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dan gue yakin sebenarnya di luar sana masih banyak gerakan-gerakan kebangkitan di negeri ini yang tidak gue tahu atau tidak gue pelajari di bangku sekolah.

            Dalam diri gue sendiri, selama satu tahun terakhir ini, gue merasakan ada semacam kebangkitan juga. Dan pada detik tulisan ini dibuat, gue telah memberi nama pada gerakan kebangkitan ini sebagai “Nahdlatul Azimmiyah”, atau yang berarti “Kebangkitan Azim”. Ya, agak terdengar lugu dan wagu, sih, namun itu terdengar seperti pemicu semangat bagi gue. Lantas memangnya kebangkitan apa saja yang gue alami di tahun 2024 ini? Let’s dive in!

Sejak akhir tahun 2022 hingga sepanjang tahun 2023, gue dihadapkan pada badai-badai otak yang seolah mengebiri pola pikir dan menyakiti mental gue habis-habisan, mulai dari putus dari Yasmin, perginya beberapa anggota keluarga besar—menyakiti anggota keluarga besar, empati gue terbawa, hingga pertemuan gue dengan “Sembilan Bidadari” yang sempat gue tulis sepanjang akhir tahun 2023—saat menyandang gelar mahasiswa baru. Pada periode ini gue mengalami masa yang amat sulit, gue hanya menjalani hidup dengan pola pikir “yang penting hari ini usai”, sudah. Bahkan, jika dilihat dari sudut pandang terburuk, sempat terbesit di benak gue untuk mengakhiri hidup pada Oktober 2023 silam, beruntung gue memiliki teman-teman yang care, sehingga hal semacam itu berhasil mereka cegah menjadi lebih buruk lagi.

Pun ditambah dengan mengonsumsi nihilisme dan absurdisme praktis dari musik yang gue konsumsi pada periode ini, yaitu “Lagipula Hidup Akan Berakhir”, album musik kedua Hindia yang membawa empat tema besar keresahan manusia; Politik dan Kekuasaan, Ekonomi, Teknologi, dan Krisis Iklim. Album musik ini telah membawa gue jauh menyelami filosofi hidup dengan pola pikir yang negatif, serba biru. Toh, lagipula hidup akan berakhir, mengapa kita mengejar semua yang ada di hidup ini? Yes.

Sebaliknya, di tahun 2024 ini gue seolah dibangunkan dari tidur yang cukup panjang tersebut. Warna biru dalam diri gue perlahan memudar. Semua itu dimulai ketika menulis cerpen horror berjudul “Janji Palsu” yang gue ikutkan lomba—dan mendapat peringkat terbaik yaitu juara satu. Cerpen ini gue tulis berkat saran dari cewek yang waktu itu sedang dekat dengan gue, Naay. Gue belum sempat menceritakan tentang dia di bab manapun, dan memang tidak akan gue ceritakan secara khusus dalam satu bab, hanya akan gue jadikan cameo—di bab ini. Naay-lah yang mendorong gue menulis cerpen horor, ia tahu gue punya potensi di bidang tulis menulis setelah membaca tulisan-tulisan depresif gue di blogspot, wkwk. Akhirnya berangkat dari sana gue memberanikan diri untuk menulis sesuatu yang bukan genre gue sama sekali, namun ternyata hasilnya luar biasa! Juara satu di percobaan pertama! Sayang, gelar juara ini tidak bisa gue kawinkan dengan kesempatan mendapat hati Naay, ia telah lebih dulu digandeng oleh seorang pria yang lebih mapan. Ah, terlewatkan!

Kebangkitan selanjutnya adalah ketika bergabung menjadi Panitia Taaruf Komunikasi (kegiatan pengkaderan di HMPS KPI UIN Gusdur). Gue sempat menceritakan salah satu part dari kegiatan ini, ya meski itu hanya part ketika gue pulang bersama Dayat. Kegiatan ini tidak banyak beda dengan kegiatan-kegiatan pengkaderan dalam organisasi pada umumnya—ada materi, ada game, ada pentas seni. Di sini, di kepanitiaan ini, gue menyumbang banyak sekali pemikiran dan ide unik, mulai dari konten promosi yang agak gila—memparodikan adegan Dilan bertemu Milea di jalan dan meramalnya, kemudian tema kegiatannya, yaitu “Good Leader, Great Power, Bright Future” yang memiliki makna filosofis dan gaya pengucapan yang estetis, gilaaa! Dan yang paling memorable dari kegiatan ini adalah ketika pentas seni—semua kelompok peserta menampilkan pentas yang terbilang sangat niat, mereka membawa banyak sekali property—ada yang jadi Elsa Frozen, ada yang jadi Biri-biri dalam Serial Upin & Ipin, dan masih banyak lagi, mereka semua kreatif.

Gue sendiri tidak kalah kreatif. Gue tampil sebagai Hindia KW dengan menyanyikan lagu “Secukupnya” dan “Kita Ke Sana”. Antusiasme peserta mencapai puncaknya ketika gue menyanyikan lagu “Kita Ke Sana”, MEREKA SEMUA TAHU LAGU INI! Mereka semua bernyanyi bersama gue, saling bergandengan, saling berpelukan, dan bahkan ada yang berlinang air mata, haru karena kebersamaan kami pada malam pentas seni sangat luar biasa. Bahkan saking antusiasnya berjingkrak saat bernyanyi lagu ini, pendopo yang kami gunakan sebagai venue di Kalipaingan ini seolah kapal yang diterpa ombak di lautan, goyang Kapten!

“Weh, weh, ini kalo jatoh gimana wehhh.” Gue bergumam lirih dalam jeda nyanyian.

Kebangkitan berikutnya adalah menjadi Duta Perpustakaan. Ini benar-benar ada di luar rencana studi—bahkan rencana pribadi gue. Semua terjadi secara spontan, uhuy. Berawal dari sebuah pamphlet yang muncul di beranda Instagram gue—postingan dari akun perpustakaan, isinya tentang pemilihan Duta Perpustakaan dan Duta Baca, serta lomba desain logo perpustakaan. Awalnya gue hanya iseng, gue meneruskan informasi tersebut ke grup WhatsApp geng gue, “Nanti Kita Cerita Tentang 14 Juni” yang beranggotakan gue, Ghozali, Lutfi, Yaya, Desi, Revo, dan Dayat.

“Gas gak sih? Persyaratannya gue banget ini, anak perpus banget,” tanya gue iseng.

“Gas saja!” jawab Lutfi.

Hari-hari berikutnya gue sudah mengurus berkas dan melakukan take video yang lucunya gue sempat salah memahami petunjuk teknis pelaksanaan lomba ini—seharusnya menggunakan video monolog, tapi gue malah bikin vlog. Dasar goblog.

“Ndan, Lut, ternyata salah baca juknis, hehehe,” ujar gue sambil menggaruk kepala.

“Bocah gemblung!” seru Ghozali.

Akhirnya gue take monolog. Berkas dilanjutkan. Hingga akhirnya screening dilaksanakan, dan sampailah pada hari presentasi. Terus terang pada ajang ini gue tidak menargetkan diri untuk menjadi juara, target gue hanya sebatas tampil di atas panggung dan tidak belibet saat presentasi. Tetapi, keputusan dewan juri berkata lain, gue harus naik lagi ke panggung untuk dikalungi selempang bertuliskan “Duta Perpustakaan UIN Gusdur” dan menerima piala, piagam penghargaan, dan juga uang pembinaan. What a moment!


“Selamat, Zim, cerpen horormu juara satu, duta perpusmu merepotkan kami!” ujar Ghozali.

Dan yang terakhir, baru saja gue alami, baru saja terjadi. Gue menjuarai lomba Stand Up Comedy dalam Pekan Olahraga, Seni, dan Keilmuan di Kampus. Sebuah langkah yang lagi-lagi bukan termasuk rencana, terjadi spontan, tanpa persiapan yang mumpuni, namun syukurnya gelar juara masih terkaruniai. Hahahaha. Gue meraih gelar juara tiga di ajang ini, yang juga sampai detik ini gue tandai sebagai titik balik kebangkitan besar dalam hidup gue di tahun ini—juga sebagai penutup tahun yang manis lagi epik.

Yang lucu dari tahun 2024 ini adalah gue tidak membuat resolusi apa pun seperti tahun sebelumnya yang berisi banyak harapan, yes, terdengar palsu, tapi demikian kenyataannya. Gue benar-benar telah menjalani hidup dengan pola pikir “yang penting hari ini usai”—sisa-sisa nihilisme yang masih hinggap di dalam diri gue dari tahun 2023 lalu. Namun dengan ke-spontanan ini gue justru meraih titik terbaik, berhasil bangkit dari keterpurukan, berhasil membangun “gue yang baru” dan “menghancurkan gue yang lama”, sama dengan judul album yang terus membakar gue di tahun 2024 ini, yaitu “Membangun dan Menghancurkan” karya Band .Feast. Dan di sinilah gue…. Membangun….



2025, awal yang baru sedang dibangun.

2024, hal buruk yang hinggap, telah dihancurkan.

Aku membangun, dan aku menghancurkan.

#Now Playing: .Feast – membangun

Dalam antrean: Nina, menghancurkan, Metakritik, Tarot, Peralihan, Drums.

Komentar

Postingan Populer