Taro Latte pt 2: Kehidupan Sang Troublemaker
Lanjutan dari part sebelumnya…
Mendengar kata jodoh, Mbak Diah mengencangkan posisi duduknya dan
mencoba mendengarkan gue dengan saksama. Lalu, gue jelaskanlah aplikasi
marketing dalam mencari jodoh tersebut. Mereka semua amaze.
“OH TERNYATA GITU? Bagi link podcastnya, biar gue juga nonton
langsung,” ujarnya antusias.
“Taro Latte,
Cappucino, sama Mie Dokdok duanya, Kak.” Waiters menghampiri tempat duduk gue.
Menaruh pesanan gue di meja yang sudah sesak dengan buku dan tas—juga segala
cerita absurd gue.
“Ini namanya apa
tadi?” tanya gue pada seluruh hadirin di meja ini—sambil memegangi gelas berisi
Taro Latte yang baru saja dihantarkan Waiters.
“Taro Latte,”
jawab Muslimah.
“Sekarang jadi
Angkat Latte.” Gue mengangkat gelas dan kemudian secara spontan nama minuman
tersebut gue ubah namanya.
“Kenapa begitu?”
tanya Mbak Diah.
“Nah, sekarang
baru Taro Latte.” Gue menaruh (naro/taro) minuman tersebut di atas meja, dan
kini nama minumannya kembali jadi Taro Latte (taruh latte, iya ini termasuk
tipe jokes yang susah dimengerti, formulanya hampir sama dengan jokes-nya Indra
Frimawan).
“Kalian nggak
paham?” Dayat bertanya.
“OHHHHHH.
HAHAHAHAHA.” Muslimah tertawa terjungkal, Bang Nabil tertawa sambil jungkir
balik dan mengapit laptopnya di kaki, sedangkan Mbak Diah salto dengan
menjungkirbalikkan kursi-kursi kafe. Suasana jadi aneh.
Waktu demi waktu
berlalu. Obrolan demi obrolan terselesaikan. Bahkan ada part di mana gue
terpaksa menceritakan kembali salah satu dari sekian banyak kisah patah hati
gue tahun lalu, yang mana aktor pencipta patah hatinya masih dekat dengan kita
semua di meja tersebut.
“SERIUS PATRICIA?
ITU MAH TEMEN GUE WKWKWKWKWK.” Muslimah tertawa kejam seperti antagonis di film
seram.
“Iya, makasih udah
diketawain. Nyesel gue cerita ya.”
Kami semua pun
beranjak. Meninggalkan kafe Lancar Abadi dan bermaksud pulang ke kehidupan masing-masing.
Beda dengan mereka, gue tidak pulang ke kehidupan gue secara utuh. Maksudnya
adalah gue tidak pulang ke rumah, gue terpaksa menginap di kostnya Dayat demi
menunggu sepeda motor gue selesai dibetulkan oleh Mas-mas Bengkel yang Sigma
tadi.
“Lu udah ngantuk
belum, Zim?”
“Belum, ke
alun-alun dulu yok, gue lagi pengen ke sana nih.”
Dayat menepikan
sepeda motornya di masjid—tentu saja menghindari uang parkir liar, lalu kami
berjalan-jalan menyusuri sudut-sudut alun-alun yang masih ramai meski hanya
beberapa tempat saja. Dan di sinilah kami, dua pemuda semi-stabil menjajali
properti-properti alun-alun, mulai dari air mancur yang terletak di bawah tugu
Al-Quran, hingga samsak berwarna kuning di seberangnya.
“Ini Al-Quran
jaman Nabi Adam ya? Gede banget. Btw ini kalo gue duduk di atas air yang lagi
muncrat gue ikut terbang ke atas gak?” tanya gue ndeso.
“Ya coba aja,
kocak.”
Gue beneran
mencobanya. Sekarang gue terbang dan terlempar ke area lapangan bola kecil di
sebelah timur air mancur. Gue mencari-cari bolanya ke manapun dan tak bisa
menemukannya. Karena tidak bisa bermain bola, gue kecewa berat.
“Lah, apaan nih
lapangan bola tapi kagak ada bolanya? Nggak kayak di kampus!” seru gue kesal.
“(kabur dan tidak
mengakui gue sebagai temannya)”
“Ini kayak yang di
tinju itu ya? Bak bak bak.” Gue menunjuk pada sebuah benda lunak yang menempel
di tiang berwarna kuning—gue menendang-nendang benda tersebut dengan puas.
“MAMPUS LO. MAMPUS
LO. DASAR RASA MALAS, MINGGIIR!” seru gue, membuat pengunjung lain merasa tidak
aman berada di alun-alun.
“Lo apa kabar sama
cewek lo?” Dayat tiba-tiba membuka sesi yang agak kelam…
Gue menghela napas
panjang. Menghentikan pukulan… Lalu mulai bercerita.
“Udah putus.”
“Loh? Perasaan
baru kemaren lo jadian, udah putus aja?”
“Ya, gitu deh, ada
perbedaan nilai yang kami yakini. Dan gue nggak yakin kalo perbedaan itu bisa
diharmonisasi. So, gue cabut.”
“GILAK! LO NGOMONG
APAAN BARUSAN???”
“Intinya kami gak
sepaham.”
“Oh, begitu. Emang
sih kalo urusan ideologi agak susah ya, Zim…”
Suasana jadi
hening. Kami terdiam selama beberapa saat. Lalu tibalah giliran Dayat bercerita
tentang gebetannya. Pada titik ini gue menyadari sesuatu; Dayat harmonis,
sedangkan gue cenderung egois, maka kerusakanlah yang gue timbulkan. Maka,
tibalah saatnya bagi gue untuk mengutuki diri, juga perbuatan diri.
“Lucu ya kalian,
nggak kayak gue.”
“Emang lo kenapa?”
“Lo tahu? Bukan
cuma hubungan romance doang yang gue hancurin. Bahkan hubungan
pertemanan juga pernah gue hancurin, Yat. Dan itu selalu menghantui gue.” Gue
mendadak serius, pasang muka se-meyakinkan mungkin agar tidak ada jokes spontan
yang keluar baik dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.
Gue menyambung
cerita, “Dulu gue pernah naksir temen satu organisasi, tapi gue gak bisa
kontrol. Suatu saat dia keliatan deket sama anak organisasi lainnya, gue
langsung ngamuk-ngamuk gak jelas di organisasi itu. Itu momen paling memalukan
di hidup gue.”
“Serius lo?”
“Iya. Dan bahkan
setelah kejadian itu, gue gak ngobrol sama anak yang deket sama cewek yang gue
naksir itu seelama setahun. Padahal dulunya kami teman dekat.”
“Tragis banget.
Dramatis.”
“Ah, jadi serius
gini, nggak asik! Beli kopi yok ah, ngantuk gue!”
“Yeee, bocah
tolol, lagi serius malah ngajak ngopi. Kalo ngantuk ya tidur lah, balik ke
kosan aja!”
“Ogah, baru jam
sebelas belum waktunya gue tidur.”
Kami beranjak dari
area internal alun-alun menuju area pinggiran jalan—di sanalah kami menemukan
penjaja kopi untuk dibeli dagangannya, lalu sesi bercerita dilanjutkan. Kami
terus mengobrol—lebih dominan gue tentang masa lalu, sedangkan Dayat tentang
keseruannya bersama gebetannya. Yah…
Malam itu gue tahu
sesuatu untuk disyukuri: meski sepeda motor gue harus dibengkelkan sementara
waktu dan gue tidak bisa pulang, namun setidaknya gue bisa merasakan liburan
singkat semacam ini. Ya, mau bagaimana lagi? Tuntutan kapitalisme selalu
memaksa gue untuk pikir-pikir beribu kali untuk berlibur, juga kondisi fisik
gue yang mudah kelelahan menjadikan gue lebih suka menikmati hari libur untuk
beristirahat di rumah sambil menonton Doraemon Series di RCTI. Tapi, hari ini
lain, gue jadi bisa berlibur! Yah, walaupun mungkin terlihat sepele, hanya
sekadar berjalan-jalan di alun-alun Kajen, namun hal itu sudah membuat gue
sangat gembira—ditambah gue bisa mendengarkan cerita dan berbagi cerita, itu
adalah definisi liburan gue yang simple. Terima kasih, Ban Lepas.
“Udah jam setengah
dua belas. Mending kita pulang,” ujar Dayat sambil menyelesaikan tegukan kopi
terakhirnya.
“Haah. Iya. Ayok.”
Gue bangun dari tempat duduk yang tadi disediakan penjaja kopi sambil
sempoyongan.
“LU ABIS MINUM
KOPI, KOCAK, GAK USAH GIMMICK MABOK. STRESSSS.”
“Oh iya. Hehe.”
Komentar
Posting Komentar