Bidadari Berputar di Atas Pencakar Langit
“Cinta adalah misteri dalam hidupku yang tak pernah kutahu akhirnya”, penggalan lirik lagu “Ku Ingin Selamanya” yang dilantunkan oleh band Ungu ini mendadak relate dengan gue. Bagaimana tidak? Dalam urusan percintaan gue seperti tidak bisa mendapati akhir ceritanya, selalu saja usai di tengah perjalanan, keputusan yang terburu-buru, dan akhir yang sebenarnya belum berakhir.
Sampai dua minggu yang lalu, saat gue bertemu si Bidadari 1, bahkan belum mulai melangkah saja gue sudah harus dipaksa mundur karena Sang Bidadari telah menyanding Pasangan. Huft. Tidak berhenti pada Bidadari 1, gue mencoba berpindah, seperti penggalan lirik lagu Hindia; Pindah berkala, rumah ke rumah. Eaaaa..
Total ada tujuh bidadari berputar di atas langit kampus, turun ke bawah dan “sempat menyapa” gue dalam beberapa waktu. Gue akan ceritakan mereka. Tentu saja dengan identitas yang gue rahasiakan.
- Bidadari 2
Punya wajah manis yang legit, buset analogi gue kenapa jadi bikin laper gini? Doi adalah anak prodi Tafsir, konon menurut legenda ia memiliki suara emas baik ketika sedang menyanyi ataupun membaca al-Quran. Kami pernah bertemu sekali di lorong Fakultas Ekonomi & Bisnis Islam. Saat itu doi Tengah mengikuti lomba menyanyi tingkat kampus. Ciri-ciri fisiknya sebagai berikut: badan pendek imut gemoy bikin lo pengen meluk layaknya sebuah bantal guling, wajah bulat dan senyum segitiga yang khas. Gue yakin siapa pun yang berhadapan dengan senyumannya akan mengalami kejang setengah mati (tentu saja dalam artian jatuh cinta, bukan secara harfiah). Sampai saat ini gue belum bertemu lagi dengan bidadari ini.
- Bidadari 3
Anak Manajemen Dakwah, belakangan diketahui doi lulusan Ponpes. Yang paling bikin gue angkat topi adalah doi jago Bahasa Jawa Krama, yang mana keahlian seperti ini sudah sangat jarang ditemui di kalangan generasi Z (kelahiran 2000-an). Gue kenal doi saat ospek kemarin. Awalnya doi adalah cewek yang lumayan menutup diri (ya iyalah, kalo dibuka ntar dikira porno), namun belakangan ngobrol sama doi jadi lebih asyik dari sebelumnya. Ciri-ciri fisiknya sebagai berikut: badan tinggi proporsional (maksudnya ga tinggi banget dan ga pendek banget, gue tahu otak lo ngang ngong baca kata-kata kayak gini), bola mata berbinar seakan memancarkan mutiara, jarang tersenyum tapi sekalinya senyum bisa bikin perpus jadi rame (konteks: di perpus ga boleh teriak-teriak).
Gue masih sering bertemu doi, pertemuannya pun sederhana; berpapasan, bertatapan, saling memanggil nama satu sama lain. Udah. Setelah itu kami kembali ke kesibukan masing-masing. Lah, kapan gue ngobrolnya? Tadi katanya asyik?
-Bidadari 4
Anak Ilmu Hadits, suka makan kebab, kami bertemu saat ospek juga. Ciri-ciri fisiknya sebagai berikut: badan pendek, punya hidung yang lucu, dan gigi gingsul. Gue sudah jarang bertemu doi, wkwk.
- Bidadari 5
Anak KPI, entah siapa namanya, gue belum sempat berkenalan. Ciri-ciri fisiknya sebagai berikut: badan tinggi, setinggi harapan orang tua, dan memiliki paras seperti orang Arab. Jangan-jangan dia memang orang Arab? Ya kheeerrrr….
- Bidadari 6
Anak KPI, mirip salah satu penyanyi di Indonesia. Gue belakangan lagi naksir doi. Tapi, ya gini deh… Gue nggak tahu harus ngapain, udah gitu aja.
- Bidadari 7
Sialnya, bidadari 7 ini adalah sosok yang pernah mengisi hati gue. Kenapa gue masukkan doi ke barisan bidadari ini? Faktanya, doi memang memiliki paras layaknya bidadari, walaupun gue sendiri nggak tahu bidadari wujudnya kayak gimana. Ah, rumit! Pada intinya doi “nggak pernah gagal” membuat gue untuk menyempatkan diri menatap matanya yang selalu tenggelamkan gue. Ah, sial, sindrom Gamon kumat!
Gue yakin setelah membaca ini lo bakal punya statement “Azim gampang banget pindah pindah naksir sini naksir sana”, yep… Gue nggak akan menyangkal fakta tersebut. Sebab jatuh cinta memang semudah ini buat gue, namun sayangnya gue selalu dapat jatuhnya saja, tidak dengan cintanya.
Gue sebenarnya pengin banget salah satu dari mereka ada yang jadi milik gue, memang tidak mustahil, namun kembali ke gue yang tidak tahu harus melakukan apa ketika jatuh cinta, endingnya semua kisah jatuh cinta gue cuma sebatas naksir – kepo – sadar diri. Sudah. Hebat-hebatnya paling begini: naksir – kepo – iseng ajak chatting – dilabrak cowoknya. Sialan.
Yang terbaru adalah salah satu dari mereka yang sedang gue kepoin, dan sayangnya lagi-lagi gue sampai di fase sadar diri; gue bukan tipenya, kata temannya. Meskipun sebenarnya gue bisa memperjuangkan agar gue bisa jadi tipenya, tapi nggak, no… Bukan gue banget. Pilihan selanjutnya sekarang hanyalah menyerah. Sekarang ini gue hanya bisa terus menikmati indahnya dari sisi gelap gue, mengamatinya sedang bercengkerama dengan cowok yang bisa lebih akrab dengan dia ketimbang gue (seperti di bab sebelumnya, gue memang cemen).
Di sinilah gue. Duduk di kursi pojok, mengambil pena dan menuliskan untaian kata untuknya.
Aku ingin berterus terang
Pada bola matamu yang selalu guncangkan inti jiwaku
Aku ingin berterus terang
Pada setiap tatapmu yang getarkan napasku
Aku ingin berterus terang
Pada parasmu yang anggun dan buatku terpaku
Aku ingin berterus terang
Pada setiap ukuran pakaianmu
Aku ingin berterus terang
Pada setiap menu yang kau santap setiap hari
Aku ingin berterus terang
Pada rute pulang yang kau lalui setiap hari
Aku ingin berterus terang
Tentang dia yang buatku pasrah menyerah kalah
Aku ingin berterus terang
Aku ingin kau milikku, masih bisakah?
“Jatuh cinta diam-diam itu seperti komedi putar; kita sudah merasa berjalan jauh, tapi kenyataannya cuma diam di tempat.” – Raditya Dika, Marmut Merah Jambu.
Masukkk bangg ekoo
BalasHapusNama saya Azim.
Hapus