Semester 2
Pagi ini masih sama dengan pagi kemarin, hari ahad. Gue menitipkan sepeda gue di rumah Nabil yang dekat dengan sekolah karena jalanan Simbangkulon sedang dalam pekerjaan proyek. Proyek peninggian jalan dan perbaikan saluran drainase ini sudah dimulai sejak awal semester 1 silam. Proyek yang cukup melelahkan bagi para pekerja dan bagi para warga karena setiap hari harus mengeluh akses jalan yang sangat sulit. Begitupun gue selama satu semester ini, cukup banyak keluhan gue karena proyek yang tak kunjung selesai ini. Hari ini, Senin 3 Januari 2022, proyek sudah memasuki tahap pengecoran jalan. Sepertinya ini adalah tahapan-tahapan final dalam perbaikan jalan ini. Setidaknya gue hanya bisa bersabar sampai akhir semester nanti.
Nabil ketika gue sampai di rumahnya masih dalam mode yang sama seperti hari ahad kemarin. Belum memakai seragam dan mulutnya penuh dengan sarapan paginya.
“Bentar, lagi makan. Tunggu bentar lo duduk dulu,” ucapnya sambil mengunyah nasi, sesekali nasinya muncrat ke muka adiknya.
“Sialan lu, Bang.”
Gue memarkirkan sepeda jengki yang biasa dipakai nyokap untuk berangkat mengaji di Padepokan Padang Ati, ponpes asuhan K.H. Halim, setiap hari selain hari senin, selasa, dan jumat. Gue kemudian duduk sebentar dan mengecek handphone. Tidak ada chat masuk. Lalu, gue yang merasakan perut gue eneg sejak semalaman karena minum kopi, gue update status tentang kopi.
“Kayaknya nggak cocok sama kopi deh. Cocoknya sama kamu, kyaaaa.” Begitulah bunyi status WhatsApp gue pagi ini. Alay dan menjijikan. Namun, gue sendiri maklum karena salah satu fase menuju dewasa adalah alay. Kira-kira itu yang ditulis Raditya Dika di buku “Ubur-ubur Lembur” yang terbit sekitar tahun 2017 lalu.
“BUCIN TROS NJIR. SEKOLAH SEKOLAH.” sebuah pesan bernada mengomentari status ini muncul di notifikasi. Bang Khamid ternyata dalangnya.
Gue tidak membalas pesannya dengan ketikan. Gue hanya mengiriminya foto sepatu yang sudah melekat rapi di kaki gue, dan berlatar lantai halaman rumah Nabil.
“Gilaaa, jam tujuh kurang seperempat belum nyampe sekolah. Kalau gue dulu jam segini udah naik sepeda, udah di jalan,” jawab Bang Khamid. Mencoba menggoda gue.
“Gue udah di rumahnya Nabil, kok, Bang.” gue menanggapi godaan sialan tersebut. Nampaknya chat ini akan semakin panjang sampai-sampai gue nggak jadi ke sekolah.
“Lah, kok masih main HP? Masa sekolah bawa HP? Dasar… bukan anak baik-baik.” Bang Khamid makin menggila di tengah suasana pagi yang masih segar. Mungkin Bang Khamid tidak pernah keluar dari rumahnya untuk melakukan olahraga pagi, pantas saja dia menggila, kekurangan vitamin D.
“Kan HP-nya gue titipin di rumah Nabil, Bang. Ah, udah, ah, nggak berangkat berangkat ini nanti.” gue menonaktifkan data seluler Handphone gue, lalu Nabil keluar dengan telah menggunakan seragam.
“Nitip, nih,” kata gue.
“Oke.”
“Etsss, bentar…” gue menghentikan Nabil, lalu melihat ke arah bagde merah di atas bagde OSIS, “…wah, keren. Badge PKS lo udah lo pasang juga kayak punya gue.”
“Woiyadongggg.”
Setelah itu, kami pun berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Melewati setiap rumah-rumah warga yang ada, serta menatap jalan yang amburadul sepanjang perjalanan. Harapan yang sama muncul setiap kali melintasi jalanan Simbangkulon: semoga proyek ini cepat selesai.
Ketika sampai di samping Takhasuss, ponpesnya Arjun dkk., terdengar suara Mr. Edwin Saputra sedang memanggil para siswa untuk berbaris melaksanakan doa pagi. Kami berdua langsung bergegas berlari. Gue melompati jalanan becek tepat di depan gue, dan sampai di seberang di kantin dengan selamat tanpa terpeleset. Kayaknya gue memang berbakat jadi superhero. Jiakhhh.
“Lari, Bil, lari.”
“WAITTT… MY LEG. ARGHHHH WHY ARE MY HAND STILL SHAKE?”
Kami tidak berlari. Hanya berjalan biasa. Sungguh dialog yang mubazir. Di depan kelas 12 MIPA, tepat di sebelah masjid, Pak Yulianto yang sedang berdiri dengan gagah sambil menyambut para siswa, tiba-tiba menghentikan laju kami berjalan, walaupun jalannya nggak laju.
“Hei, berhenti!” kata Pak Yulianto. Gue dan Nabil saling memandang satu sama lain. Bingung. Lalu, gue memberanikan diri untuk bertanya.
“Kami, Pak?” gue memasang muka sok tak bersalah.
“Iya, kalian berdua. Anak PKS, kan?” Pak Yulianto mengidentifikasi identitas kami berdasarkan badge yang melekat di seragam OSIS kami. Ternyata benar kata Kak Izul, badge ini bukan sekadar badge biasa, tanggung jawabnya besar.
Lalu, dengan ragu-ragu gue menjawab, “I… Iya, Pak. Anak PKS.”
“Saya anak bapak ibu saya, Pak.” Nabil memotong.
“HUS, DIEM.”
“Itu parkiran baru di sebelah barat dijaga dong. Masa kosong nggak ada yang jaga parkir,” nasihat beliau. Cukup menampar kami, lalu ditambah dengan kritikan yang sangat menghujam, “Berangkatnya juga. Yang pagi, dong. Ini udah mau bel baru nyampe sekolah, gimana mau jaga parkiran?”
“Hehehehe, iya, Pak. Maaf.” kalimat tersebut satu-satunya penyelamat kami pagi ini.
“Udah, sana baris doa pagi.”
Gue langsung ngibrit meninggalkan Nabil, kali ini dia benar-benar tertinggal.
“WAITTTT, YOU DIPSHITTTT.”
Gue langsung bergerak gesit melompati pagar sekolah,tangan kanan gue mengacungkan jari metal, lalu keluar jarring dari pergelangan tangan gue. Jaring tersebut mengarah ke kelas 11 IPS 1, gue masuk kelas dan menaruh tas. Lalu, gue turun kembali dengan melompat terjun bebas. Finally, gue berhasil mencapai impian gue untuk menjadi seorang Spider-Man. Nabil hanya bisa geleng-geleng kepala. Kekuatan superhero yang ia miliki hanyalah mengingat nama-nama tokoh penting dunia dan perannya, serta hobi membaca sejarah. Loh? Superhero macam apa yang suka baca sejarah?
Doa pagi berlangsung tidak lama, kami semua, atau yang lebih pantas disebut para siswa yang punya niat besar untuk bersekolah, langsung masuk ke kelas masing-masing. Dan keadaan kelas masih tak jauh berbeda dengan hari ahad kemarin saat pertama masuk semester 2: sepi. Padahal sistem shift sudah tidak diterapkan. Namun, entah mengapa kekampretan mereka yang hobi alpha malah menular ke anak-anak lain. Kelas gue hanya dihuni setengah populasi saja, yang lain masih tidur bersama mimpi-mimpinya di kamar. Termasuk Tamam dan Haikal, duo kocak yang selalu gue nantikan kehadirannya. Ketidakhadiran mereka selalu gue sayangkan, tetapi ada sesuatu yang bisa mengimbangi keabsurd-an mereka berdua, yaitu Arsya. Manusia paling kocak dan aneh di sekolah, bahkan jika dibuat table daftar siswa paling aneh, dia akan menduduki peringkat satu. Lalu ada Haikal di peringkat dua, dan gue menempati peringkat ketiga.
Arsya hobi membuat lelucon yang sangat berbeda dengan orang pada umumnya. Kalau orang lebih memilih bercerita tentang kucingnya yang lucu, Arsya justru menceritakan kakeknya yang absurd. Mulai dari bermain PS3 sampai naik sepeda motor terjungkal. Selain lelucon yang fresh, Arsya juga memiliki suara yang sangat bagus. Jika ia menyanyi, burung gereja yang ribut mencari tempat untuk membuat sangkar pun rela berhenti mencari rumput ilalang demi mendengarkan suaranya. Lagu yang sering ia nyanyikan biasanya lagu bertema cinta. Kadang lagunya ia ubah sendiri liriknya, seperti lagu Yowis Ben yang berjudul “Lagu Galau”, yang bercerita tentang seorang yang galau karena putus cinta ia ubah menjadi seseorang yang galau karena sakit gigi. Kira-kira begini liriknya:
Jare wong bien luweh penak loro ati, loro untu nggawe ra mangan seminggu
Gak iso mamah, mangane kudune bubur
Mlongo karo galau saben marhabanan
MANGAN KOK DADI LOROOO
Nangis malah dadi sengsoro
Kakean nyekel pipi… RISIHH… GATHELI…
Wes tak tambani kabeh… loroku iki
Ra perlu mikir pindo, aku pingine mari
Wes tak lakoni kabeh, sing nggo nambaniu
Ra perlu mikir pindo, untuku kudune mari
Kalo lo bacanya sambil nyanyi, lo keren. Lo sama gilanya kayak dia.
Arsya dalam bernyanyi sering menyisipkan lelucon, atau kadang-kadang lagunya tidak nyambung. Mashup. Seperti tadi pagi, Arsya menyanyikan lagu “Duluu ku kau maki”, namun tiba-tiba terusan lagu tersebut adalah “Mendung Tanpo Udan”. Sungguh seni yang sangat membagongkan.
Gue yang sedang bosan kemudian mengeluarkan novel yang sedang gue pinjam dari Wafa, Laskar Pelangi. Lalu, Nabil mengeluarkan novel yang dia pinjam dari gue yang gue pinjam dari Miftah, Danur. Wafa juga ikut mengeluarkan novel, bedanya novel yang Wafa keluarkan adalah novel milik Wafa sendiri. Ya, dari ketiga cowok yang katanya “Terpintar di kelas”, cuma Wafa yang modal. Gue hobi meminjam, Nabil pun demikian.
Wafa mengeluarkan sebuah novel berjudul “William”, novel yang masih kerabat dekatnya novel Danur, karena William adalah salah satu tokoh hantu dalam novel horor tersebut. Inilah kebiasaan baru gue di kelas 11, pinjam meminjam novel. Gue pernah meminjam novel “Jurnal Anak Bah-Lol” karya Syammas P. Syarbini dari Tamam, lalu “Ubur-ubur Lembur” karya Raditya Dika dari Wafa dan Laskar Pelangi dari Wafa juga. Lalu, Danur, Antara Fajar dan Senja karya Sweeticha, Dari Timur antologi penulis Makassar, Sweet Escape karya Kiyoshin, dan Sebuah Usaha Melupakan karya Boy Candra gue pinjam dari Miftah. Serta Konyolnya Orang Jawa karya Budiono Herusatoto yang gue pinjam dari Tsabata. Gue juga pernah mengirimi PDF novel Koala Kumal karya Raditya Dika, dan meminjami buku antologi puisi cerpen se-Indonesia yang di dalamnya ada puisi karya gue kepada Wafa. Yang paling aneh adalah Abdillah, dia meminjam dari gue yaitu buku materi Lakmud. Astaga. Buat riset katanya, juga karena kepo dengan Lakmud. Namun, setelah membaca buku tersebut Abdillah pusing migrain, dia koma 3 bulan. Miris.
“Wih, ini William yang di novel Danur bukan, Fa?” tanya Nabil.
“Iya, ini Williamnya Danur,” jawab Wafa.
“Eh, Fa. Laskar Pelangi lo baru sempet gue baca, keren ternyata,” sahut gue masuk ke dalam percakapan.
“Iya, emang keren, tapi banyak bahasa ilmiah yang bikin bingung. Kayaknya Andrea Hirata anak IPA, deh.” Wafa menanggapi perkataan gue dengan sedikit melontarkan lelucon. Gue terkekeh sedikit, lalu membayangkan apa jadinyna jika Andrea Hirata seorang anak IPS?
Novel “Laskar Pelangi” ini sudah gue pinjam sejak dua bulan yang lalu, namun baru gue sempatkan untuk membacanya belakangan ini. Gue melihat covernya saja sudah ngeri, bukunya sangat tebal. Berjumlah 534 halaman. Namun, setelah gue beranikan membacanya, malam sebelumnya, sambil minum kopi gue menemukan sebuah pengalaman baru dan pelajaran baru tentang semangat menuntut ilmu. Gue membayangkan salah satu tokohnya, Lintang, setiap hari harus naik sepeda dan menempuh jarak sejauh 80 kilometer demi sampai ke sekolah, sungguh perjuangan yang sangat berat. Belum lagi, kadang-kadang Lintang sering dihadang buaya di tengah jalan. Lalu gue bandingkan perjuangan gue dengan Lintang untuk menuntut ilmu. Gue, baru menghadapi jalan yang sedang diperbaiki saja sudah mengeluh seakan dunia sudah bukan tempat untuk hidup lagi. Sedangkan Lintang setiap pagi menempuh jarak 80 kilometer demi menuju sekolah, subhanallah.
Semua pemikiran itu usai. Nyanyian Arsya, tawa Khafid, dan podcast pagi Rohid seketika berhenti. Kami semua berdiri demi menyambut Ustaz Ismail, guru Bahasa Inggris yang baru saja masuk kelas.
“Qiyaaman!” seru Rohid dari barisan paling belakang. Kami semua berdiri serentak. Kemudian Pak Ismail mengucap salam, “Assalamu’alaikum Wr. Wb.”
“Wa’alaikumussalam Wr. Wb. Bismillahi rohmaani rohim. Robbisy rohli…,” kami menjawab salam, lalu berdoa sebelum memulai pelajaran.
“Juluusan! Silakan duduk…,” Pak Ismail mempersilakan kami duduk, lalu beliau memulai, “Hari ini saya tidak akan langsung masuk ke pelajaran. Saya hanya akan member sedikit motivasi.”
“Nah. Asik nih,” kata gue. Gue berkata demikian bukan karena gue benci bahasa Inggris dan berusaha menghindarinya, gue justru menggemari bahasa Inggris. Gue berkata demikian karena gue menyukai kultum pagi yang dibawakan oleh Pak Ismail setiap kali mengajar bahasa Inggris hari senin dan rabu. Quotesnya lebih menarik dari pelajaran yang disampaikan, begitu kira-kira kata salah satu kakak kelas kami, Fuad. Buku bahasa Inggris Fuad tidak pernah berisi pelajaran, melainkan berisi quotes-quotes Pak Ismail. Memang motivator kawakan bangsa.
Pak Ismail bercerita bahwa menuntut ilmu itu butuh perjuangan dan tidak instan. Hal ini sangat senada dengan apa yang gue baca di novel Laskar Pelangi semalam, sambil minum kopi, lalu mulas.
“Dulu saya itu les bahasa Inggris, temen satu kursus saya SMA semua, cuma saya yang dari MAS.” begitu kira-kira kata beliau.
Pak Ismail juga menambahi bahwa kita harus menjadi orang yang berilmu, atau minimal jika kita malas belajar, jadilah bos. Karena jika kita tidak tergolong dua kategori tersebut, keberadaan kita tidak terlalu berarti. Beliau memberi contoh ketika hajatan perni!kahan, contoh yang sangat mudah kami pahami.
“Contoh, sedang ada nikahan, pas walimatul ursy itu biasanya kalo kiainya datang tuan rumahnya berdiri mengagungkan, ya nggak? Bos juga gitu, misalnya bapak kamu nikahin kamu, terus bosnya datang dia bakal berdiri. Kan nggak mungkin ada tukang sablon bapak kamu berdiri,” tegas beliau. Kami semua tertawa terbahak-bahak.
Di sela-sela tawa kami, tiba-tiba Pak Yulianto masuk. Gue kira gue dan Nabil bakalan dieksekusi atau apalah. Ternyata bukan. Pak Yulianto yang seorang BK ternyata hendak menegur kami karena kelas sepi.
“Assalamu’alaikum. Minta waktunya sebentar, Pak Mail. Gini ya 11 IPS 1, ini sudah semester 2 loh. Masa berangkatnya masih mau gini-gini terus? Keaktifan kalian berpengaruh loh di kenaikan nanti. Yang belum berangkat dikabari, ya!”
“Iya, Pak.” satu kelas menjawab kompak.
“Oke, sekian terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.” Pak Yulianto kemudian meninggalkan kelas.
“Tuh dengerin, absen kalian itu selama semester ganjil berantakan banget. Banyak alpha-nya. DIperbaiki ya! Sama belajarnya lebih giat. Oke?”
“Oke.”
“Ya, sudah, jam saya sudah habis. Saya pamit dulu, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.” Pak Ismail meninggalkan kelas.
Gue menangkap semua hal yang gue alami barusan menjadi satu kesimpulan: kita semua harus giat belajar. Jangan kebanyakan alpha dan kurangi mengeluh tentang hidup di hari ini. Ternyata ada banyak pelajaran di setiap sisi kehidupan kita yang bisa kita gali perlahan lalu kita ambil dan kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jam pelajaran kembali kosong, gue melanjutkan membaca novel Laskar Pelangi. Kali ini tokoh Mahar sedang beraksi dengan seninya. Nabil kembali melanjutkan membaca Danur, kali ini tubuhnya gemetaran.
Komentar
Posting Komentar