Luka Baru di Sabtu Lesu

Ustaz Adzkiya masuk ke kelas kami dan langsung memulai pelajaran dengan membagikan hasil tugas minggu lalu. Kemudian, beliau memberikan kami tugas tambahan, yaitu menuliskan satu saja budaya Indonesia beserta hal-hal yang berkaitan dengannya. 

Otak gue masih cooldown sehabis mengerjakan tugas ekonomi sebelum beliau masuk menggantikan jam pelajaran Ustaz Rozaq, namun sekarang dipaksa untuk berpikir lagi. Akhirnya gue ngebleng. Kepala gue panas. Asap putih keluar dari sela-sela rambut gue.

"YA ALLAH!!!" teriak gue dalam hati, keras, saking kerasnya Pak Bon yang tengah menyukur tanaman pucuk merah pun ikut terperangah, kaget dengan peristiwa aneh ini. Dalam hatinya mungkin berpikir: sudah waktunya umat manusia untuk bertaubat.

Gue bertanya ke Nabil, budaya apa yang akan ia tulis di tugas tambahan ini. Nabil menggeleng pelan. Lalu dia menyembunyikan jawabannya.

"Lo jawab apa, Bil?" tanya gue penasaran dengan mulut sedikit menganga.
"Kepo lo, kek petugas sensus." Nabil masih menutupi bukunya dengan tangan.
"Ya ampun, gue cuma mau lihat contoh doang, gue gak nyontek. Lagian kalo jawabannya sama kan ketahuan. Cepet ah!" paksa gue.
"Gak, gak mau," jawab Nabil yang sekarang mulai memakai dot dan baju bayi.

Sejurus gue sempat mendengar Abdillah yang mengucapkan kata "bakar", lalu otak gue langsung tertuju pada tradisi Ngaben di Bali. Gue kemudian menulisnya, lalu bergegas mengumpulkannya.

"Asro Nabil!" Ustaz Adzkiya memanggil Nabil yang ternyata sudah mengumpulkan tugas terlebih dahulu.
"Iya, Pak." Nabil maju ke depan dan mengambil bukunya yang diiringi dengan paksaan gue untuk melihat tulisannya.
"Punya lo apa, sih? Kasih tau gue ngapa?" negosiasi kembali gue mulai.
"NGGAK!" ucap Nabil sambil cosplay Malih Tong-tong.
"AH NYEBELIN LO!"
"Azim!" Ustaz Adzkiya memanggil nama gue. Gue maju ke depan dan mengambil buku gue yang sudah bercap paraf beliau dan nilai 100. Keren, akhirnya setelah sekian purnama... gue kembali merasakan nikmatnya mendapat 100. ALLAHU AKBAR!

Azan zuhur berkumandang tepat setelah gue mengambil buku di depan. Ustaz Adzkiya pamit dan kami semua keluar kelas menuju masjid untuk salat zuhur berjamaah. Adegan action dimulai di sini. Gue mengambil ancang-ancang dengan menggelitiki ketiak Nabil. Nabil berontak dengan menggelitiki ketiak gue juga, namun gue kebal. Lalu, jurus-jurus lainnya kami coba bersamaan dengan melangkah menuju masjid.

Nabil berlari mendahului gue, namun dengan kecepatan Quicksilver, gue berhasil menghadangnya dan melayangkan sebuah pukulan. Dibalas dengan bantingan oleh Nabil.

"Cepat berikan bukunya padaku!" kata gue.
"Itu tidak akan terjadi!!! HYAAAATTT!"

Nabil melayangkan tendangan, gue mengelak dengan posisi jongkok, lalu memukul perut Nabil. Boom! Nabil terpental sampai ke halaman depan. Lalu gue mengejarnya. Adegan kejar-kejaran yang amat seru terjadi. Seiring dengan Nabil yang mulai menjauh, gue mempercepat langkah. Sebuah sepeda motor yang sedang parkir di bawah pohon besar di depan gedung MTs gue lompati. Namun, hal tersebut masih berada di angan-angan gue. Ketika gue mulai mendekati sepeda motor tersebut, sesuatu yang naas terjadi, gue terpeleset, lalu jatuh menimpa sepeda motor tersebut hingga gue berguling-guling. Seluruh siswa MTs dan MA yang kebetulan sedang berjalan menuju masjid langsung memandangi gue dan dengan penuh kekompakan hati nurani mereka bertanya-tanya, "Ini bocah ngapa ya?"

Gue tidak bisa menggerakan badan gue karena kedua kaki gue berada di atas jok motor, sedangkan badan gue di atas tanah. Miris. Demi aksi atletis, remaja ini terjungkal dan menanggung malu seumur hidup.

Zidni Khilman, pengurus OSIS yang kebetulan lewat langsung membantu gue untuk bangun. Eh, sorry, gue ralat. Zidni langsung membangunkan sepeda motor yang ternyata kepunyaan Pak Kiai Rodli ini. Plat nomornya pecah, helmnya terjatuh, sementara gue masih nyungsep. Sialan, kenapa nggak ada yang mau nolongin gue sih?

"Waduh, Zim. Plat nomornya pecah," ucap Zidni dengan muka setengah mengintimidasi gue.
"Lha terus?" tanya gue dengan perasaan panik dan hidung yang kembang kempis, ngos-ngosan.
"Tanggung jawab dong!" katanya lagi.

Gue bangun lalu menuju masjid dengan menanggung perasaan malu. Beginilah yang kita rasakan ketika jatuh: sakitnya nggak seberapa, tapi malunya itu loh!! 
Gue masih mencari-cari Nabil untuk gue ajak menemui Pak Kiai Rodli sepulang sekolah. Gue temui dia sedang mengintip dari gang kecil belakang masjid. Gue langsung mengejarnya.

"JANGAN LARI LO, KAMPRET!"
"AAAAAAAA." Nabil berlari dengan tangan yang diayun-ayunkan seperti orang ngondek.
Gue mendapati Nabil, gue langsung mencekiknya dan meminta pertanggungjawaban. Nabil hanya tertawa karena mengingat kejadian barusan.

"HAHAHAHAHAH. LO SIH BANYAK TINGKAH!"

Nabil tak henti-hentinya menertawakan gue. Bahkan hingga jam pelajaran terakhir hari ini, yaitu mapel sosiologi, Nabil masih tertawa terbahak-bahak. Gue tidak mendapati Pak Kiai Rodli di manapun. Lalu, gue pulang dengan perasaan kesal. Pengin balas dendam, tapi sama siapa?

Sesampainya di rumah, gue langsung memarkirkan sepeda motor gue dan memegang gagang pintu untuk ditarik tuasnya agar gue bisa membuka pintu lalu masuk ke dalam rumah dan beristirahat. Namun, takdir berkata lain. Gue belum diizinkan untuk masuk rumah karena dikunci. Seketika gue ingat tempat menaruh kunci, yaitu di tempat penyimpanan rahasia buatan bokap gue. Gue langsung meraba-raba ke dalam tempat penyimpanan tersebut, namun naasnya lagi, kunci tersebut terjatuh dan masuk ke dalam rumah. Game over. Gue nggak bisa masuk rumah!

Gue mondar-mandir sejenak, berteori sebentar, kunci rumah ada tiga buah, satu di rumah, satu di abang gue, dan yang satu lagi pasti dibawa nyokap pergi ke luar rumah. Destinasi yang gue tuju sudah tentu abang gue yang sedang bekerja di SMPN 15 Pekalongan. Karena gue nggak tahu ke mana perginya nyokap sekarang ini. Gue menstater motor lalu berangkat menuju SMPN 15. 

Jam menunjukkan pukul 14.30, SMP sudah sepi. Bahkan para staff tata usaha yang lumrahnya pulang paling akhir pun sudah tidak tampak batang hidungnya. Namun, dengan sedikit perasaan percaya diri, gue mencoba mencari abang gue yang juga seorang staff tata usaha, siapa tahu dia belum pulang. Ruang TU sudag tertutup rapat, sepeda motor abang gue sudah tidak ada. SIAL! COK!

"ANJRITTT! INI PASTI UDAH PULANG ABANG GUE!" gue menepok jidat seorang tukang kebun yang sedang memotong rumput. Tukang kebun tersebut kesal lalu menendang gue hingga terpental sampai ke rumah. Gue pasrah. Tidak ada lagi yang bisa gue lakukan. Gue hanya bisa menunggu sampai nyokap pulang sementara azan asar berkumandang. Pikiran gue kacau balau. Otak gue makin panas. Asap di kepala gue sudah berubah warna menjadi hitam pekat. Erupsi otak!!!

Sekitar 20 menit gue menunggu di depan rumah, nyokap pulang dengan sepeda jengkinya. Gue tersenyum sedikit, penderitaan ini akan segera berakhir. Nyokap keheranan melihat gue yang duduk di depan rumah. Kenapa nggak masuk?? Mungkin itu yang ada di pikirannya.

"Loh, kok duduk di depan? Kan ada kunci cadangan," tanya nyokap heran.
"Kuncinya jatuh, Ma," jawab gue dengan disertai muka polos nan ngenes.
"ASTAGHFIRULLAH! Mana mama nggak bawa kunci, lagi!"
"Aduhh!! Aku kira mama bawa kunci. Mana tadi aku ke SMP, abang udah gak ada!"
Antiklimaks. 

"Mama coba telepon abang kamu, deh!" nyokap dengan baju hijau ala Muslimatnya, menandakan bahwa beliau baru saja pulang dari agenda rutin Muslimat Anak Cabang Buaran, kemudian menelepon abang gue.

"Lagi di mana?" tanya nyokap yang mulai kesal karena perutnya yang lapar sebab tidak melirik snack yang ia bawa pulang. Snack tersebut justru gue makan.
"Lagi di rumah temen," jawab abang gue.
"Pulang cepet! Ini adik kamu nggak bisa masuk, kuncinya jatuh!"
"Loh kok bisa?" tanya abang gue keheranan.
"Udah, pokoknya cepet pulang."

Tak berselang lama, abang gue pulang dengan senyum kampret tanda meledek gue yang super bego ini. Gue tertunduk lesu dengan memegangi pisang goreng crispy.

"Nih, udah kubuka! Huhhh! Makanya lain kali ati-ati!" abang gue mengerutkan alisnya, lalu menjedotkan kepala gue. Gue terlempar jauh ke sungai Amazon.

Gue menutup setengah hari ini dengan sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Peterpan, yaitu "Hari Yang Cerah Untuk Jiwa Yang Sepi". Namun, gue ubah sedikit liriknya.

#nowplaying: Peterpan - Hari Yang Cerah Untuk Jiwa Yang Sepi.

Hari yang apes, untuk perut yang mules
Begitu ngenes untuk jiwa yang lemes
Aaaahh aaaaaa...
Kucoba bertahan, dan tak bisa.

Untuk jiwa-jiwa yang lemes, mari kita mawas diri. Wallahul muwafiq illa aqwamith thoriiq. Wassalamualaikum wr. wb.

Komentar

Postingan Populer